Kepada KAI; Sebuah Mimpi


Sejauh ini, Komunitas Arsitektur Islam atau yang sering disebut KAI memang masih belum berhasil dalam perjuangan strukturalnya. Tapi hal ini tidak menutup kemungkinan-kemungkinan lainnya yang masih patut untuk diperjuangkan. KAI dibentuk oleh teman-teman arsitektur UMS dengan tujuan memberikan wadah kepada para mahasiswa penggiat arsitektur Islam. Dalam perjalanannya, KAI mengalami perkembangan visi dan misinya. Dengan bantuan serta bimbingan para ustadz, dosen  dan komponen pengarah lainnya KAI telah sukses melakukan kajian-kajian rutin, bedah film, hingga seminar lintas disiplin ilmu. Saya bersyukur teman-teman di KAI telah begitu semangat dan serius untuk terus aktif menggiatkan pengkajian arsitektur Islam. Dengan tidak menyampingkan pencapaian-pencapaian KAI sejauh ini, ada beberapa harapan saya pribadi sebagai anggota KAI cabang Bekasi  (hehehe) kepada teman-teman yang masih aktif mengurus komintas ini di kampus UMS tercinta.

Sejak awal diinisaikannya komunitas ini, bukannya tanpa perencanaan, teman-teman sudah mencoba untuk memberikan arah gerak KAI kedepannya. Dirasa perlu dibuat rel yang jelas agar pergerakan KAI ini lebih terarah. Saya mencoba memberikan tiga strategi yang seharusnya dapat dicakup oleh Komunitas Arsitektur Islam. Tiga strategi ini yang kurang lebih juga digunakan oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) di awal pergerakannya dahulu.Tiga strategi tersebut yaitu  strategi struktural, strategi kultural, dan strategi mobilitas sosial (dalam lingkup KAI menjadi strategi mobilitas mahasiswa muslim).

Strategi Struktural. Strategi ini identik dengan pergerakan politik, perebutan kekuasaan. Tetapi bukan itu yang saya maksud. Tidak ada keinginan untuk menyarankan KAI agar berafiliasi dengan salah satu parpol atau orpol. Saya rasa itu tidak ada gunanya. Strategi struktural yang dilakukan oleh KAI bukan dalam rangka memperebutkan kekuasaan, tetapi lebih kepada pergerakan-pergerakan dalam struktur atau ‘legal standing’ komunitas ini untuk menjamin keberlangsungan tujuan utama dari KAI, yaitu pengkajian ilmu arsitektur Islam. Kita harus realistis, seringkali agenda-agenda KAI terhambat dikarenakan ketidak jelasan ‘legal standing’ komunitasnya. Diharapkan strategi ini mampu memberikan kejelasan keberadaan KAI, seperti misalnya posisi KAI dengan KMTA UMS, KAI dengan PSAI, KAI dengan Jurusan Arsitektur UMS, bahkan kedepanya KAI dengan peer group di luar sana yang tentu jalurnya adalah struktural. KAI bisa menjadikan IMAMUPSI (Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi) sebagai contoh gerak strategi strukturalnya.

Strategi Kultural. Strategi ini memberikan arah gerak KAI dalam usahanya melakukan ‘penyadaran’. Berusaha untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku mahasiswa arsitektur, baik yang sudah ataupun belum tergabung dalam KAI, agar menyadari bahwa keilmuan arsitektur Islam atau Islamisasi arsitektur sangat mendesak dan diperlukan. cara-cara penyadarannya dapat berupa kajian-kajian rutin, bedah topik, seminar, FGD, publikasi tulisan, dan lain sebagainya. Dalam strategi kultural ini, tentunya KAI tidak dapat bekerja sendiri dan harus bahu membahu dengan komponen mahasiswa lainnya seperti yang dulu-dulu pernah dilakukan bersama FSIKI, Forum Istiqomah, dan masih banyak lagi. Dari sinilah terlihat bahwa antara strategi kultural dan struktural tidak bertentangan tetapi komplementer. Berbeda dari strategi struktural yang cenderung jangka pendek, strategi kultural ini untuk sesuatu dalam jangka panjang. Dibutuhkan napas panjang dan keistiqomahan untuk bergerak di dalamnya. Masalah yang timbul selanjutnya adalah periode seseorang anggota KAI dapat intensif di dalam komunitas ini. 2 hingga 3 tahun yang merupakan jenjang intensif seseorang dalam komunitas bisa dirasa terlalu pendek jika tidak dilakukan pematangan rencana. Harus dibuat target-target yang berjangka 2 atau 3 tahun sekali sehingga terlihat tongkat estafet kepada juniornya. target 2 atau 3 tahun ini patut didukung oleh pencapaian-pencapaian jangka pendek (1 hingga 2 semester) untuk mendukung visi yang jauh kedepan, yaitu mandirinya keilmuan arsitektur Islam.


Kajian rutin Arsitektur Islam dengan pengampu Pak Andika Saputra S.T, M.T



Strategi Mobilitas Mahasiswa. Untuk melestarikan momentum yang telah tercipta, diperlukan strategi lain, yaitu SDM . KAI yang berisikan mahasiswa-mahasiswa muslim harus menyadari posisinya sebagai bagian dari mahasiswa, juga bagian dari umat. Kedepannya, KAI bersama dengan yang lainnya bahu membahu menciptakan knowledge society yang berdasarkan imtaq dan iptek yang turut serta dalam long march umat menuju masa depan kejayaan Islam. Dalam lingkup kecilnya, KAI yang berisi mahasiswa arsitektur sebagai representasi mahasiswa UMS harus mampu mengawal, pembangunan kampus contohnya, agar aspirasi mahasiswa dapat didengar oleh para pembuat kebijakan pembangunan kampus, yang cenderung satu arah. Memanfaatkan daya kritis teman-teman mahasiswa sebagai bagian dari mobilisasi. Dalam lingkup lebih luas, lingkup bernegara, KAI wajib turut serta mengawal agenda-agenda pembangunan negara agar sesuai dengan kaidah-kaidah arsitektural yang berasaskan keislaman. Strategi mobilitas mahasiswa ini memadukan antara kemampuan individu dengan usaha kolektif.


Sekali lagi, ketiga strategi di atas tidak berlaku mutually exclusive, tetapi komplementer. Saling melengkapi. Seringkali organisasi atau komunitas keilmuan gagal menyadari hambatan-hambatannya sehingga hanya bergerak dalam satu lingkup strategi sehingga berat yang dirasakan.

Dalam agenda-agendannya nanti, KAI yang berpayung dibawah Universitas Muhammadiyah Surakarta juga harus menggunakan etika profetik sebagaimana yang telah diinisiasi oleh kampus. Seperti kita tahu bersama, baru-baru ini banyajk dipasang plang berisikan etika profetik yang tentunya bertujuan agar etika profetik dapat menjadi dasar dari segala gerak civitas akademiknya. Humanisasi, liberasi, serta treansendensi adalah pokok dari etika profetik sebagaimana penafsiran Dr.Kuntowijoyo terhadap QS.Ali Imran ayat 110. Amar ma’ruf, nahiy munkar, tu’minuuna billah. KAI harus bergerak dengan berdasarkan ketiga etika profetik tersebut. Sekiranya bagaimana KAI tidak hanya bergerak pada level “abstrak”, tetapi juga level “konkret” seperti pendampingan masyarakat pinggir sungai yang termarjinalkan di Solo, pemberdayaan masyarakat sekitar kampus, dan aksi-aksi lainnya yang tentu saja membawa semangat profetik. Mengenai bagaimana menafsirkan arah gerak berdasarkan etika profetik, dirasa perlu meminta bantuan dari para guru dan pembimbing.

KAI yang juga masih berdiri di dalam lingkup Jurusan Arsitektur UMS diwajibkan untuk turut menyukseskan visi misi Jurusan seperti pengembangan Arsitektur Islam secara professional, ilmiah dan berkelanjutan di tingkat makro, meso dan mikro. KAI wajib menjaga hubungan baiknya dengan Jurusan. Harus meminimalisir friksi-friksi yang terjadi diantara keduanya. Membentuk mahasiswa yang beradab dalam tindakan sebagai salah satu tujuan KAI tentunya dapat terlihat ketika melakukan komunikasi dan koordinasi dengan para dosen. Karena sebelum mengislamisasi ilmu, diri ini yang diliputi oleh pandangan alam harus pula sudah ‘terislamkan’. Karena syarat untuk mencapai hikmah adalah pengetahuan yang benar (ilmu), tindakan yang benar (adab), dan keadaan yang benar (adil).

Cukup begitu kiranya, harapan-harapan saya sebagai anggota KAI cabang Bekasi :-p . Mohon maaf bila harapan-harapan ini dirasa begitu jauh mengawang-awang. Tetapi dengan melihat keseriusan dan kompetensi teman-teman yang masih intensif bergerak di KAI, saya yakin mimpi-mimpi ini dapat terwujud. Sekali lagi mohon maaf karena selama intens di KAI belum dapat berkontribusi banyak, dan sekarang ada jarak geografis yang memaksa kita tidak bisa seromantis dulu lagi. Sukses terus KAI, sukses terus mahasiswa muslim, sukses terus umat muslim Indonesia.

Jayalah umatku, jayalah negriku.  Cintailah ploduk-ploduk endonesah...
Akhirulkalam, wassalmualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

om... teloletnya om...

Persidangan Jesicca & Banjir Bandang Informasi


Beberapa hari yang lalu sempat kita disuguhi kembali oleh ramainya pemberitaan mengenai persidangan lanjutan kasus pembunuhan Mirna dengan tersangka Jesicca Wongso. Sidang lanjutan yang diadakan pada hari Senin (15/8) lalu ini menyedot perhatian banyak media pemberitaan nasional yang lalu menjadikannya topik utama. Bahkan, beberapa TV nasional menyiarkan jalannya persidangan tersebut secara live. Saya dapati, setidaknya terdapat dua TV Nasional yang menyiarkan jalannya sidang lanjutan tersebut secara penuh dan live, sedangkan TV Nasional lainnya menyiarkan pada acara berita selingan yang rutin disiarkan setiap satu jam sekali atau pada acara berita lainnya. Pun begitu yang terjadi pada situs-situs berita yang berbasis di internet yang pada hari itu ramai-ramai menaikkan berita tersebut sebagai topik utama.


Kasus pembunuhan Mirna menjadi kasus pebunuhan terheboh dan paling menyita perhatian publik tahun di tahun 2016 ini. Hingga sidangnya yang keduabelas senin kemarin, kasus pembunuhan ini sudah berkali-kali menjadi topik utama di berbagai media pemberitaan. Tidak hanya berita-berita utama investigasi pembunuhannya, berita-berita turunan yang relevansi dengan investigasi pembunuhan tidak terlalu kuat pun banyak diangkat oleh situs-situs media pemberitaan online. 

Pemberitaan terdakwa di media online
Boomingnya kasus pembunuhan ini, tentu membuat kita bertanya-tanya, ada kepentingan apa masyarakat luas disuguhi dengan pemberitaan kasus tersebut secara terus menerus ? Apakah akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat ? Seberapa pentingkah kasus ini hingga bahkan menenggelamkan kontroversi Bom Sarinah atau kasus sindikat narkoba yang dibeberkan oleh  Freddy Budiman yang menyeret institusi/lembaga tinggi negara ? Mengapa ia dijadikan isu publik ? Akankah negara kolaps bila dalang di balik kasus ini tidak diketahui oleh publik secara luas ? Bisakah Indonesia kembali menjadi ‘macan asia’ bila masyarakatnya telah mengetahui seluk beluk kasus pembunuhan tersebut ?

Dalam era Informasi seperti saat ini kita disuguhi, yang oleh Al Gore disebut sebagai, jalan raya informasi (Information Superhighway atau Infobahn). Teknologi informasi, yang telah meningkat begitu pesat setelah hadirnya televisi juga internet, memberikan kita kemudahan dalam mendapatkan berbagai informasi sehari-hari. Mulai dari pemberitaan lahirnya seekor anak Badak Bercula Satu di Taman Safari, hingga kasus korupsi berjumlah miliaran rupiah oleh anggota dewan pun dengan mudah kita dapatkan. Jalan raya informasi menyuguhkan keberlimpahan informasi. Keberlimpahan informasi di abad 21 ini, yang oleh Yasraf Amir Piliang diasosiasikan dengan kejadian banjir bandang pada zaman Nabi Nuh, yang kemudian ia sebut sebagai banjir bandang informasi.

Jalan raya informasi menyuguhkan kita kepada informasi dalam kecepatan tinggi yang terjadi secara simultan. Timbul-tenggelam di jagat raya informasi. Jibunan informasi hadir kepada kita tanpa adanya filtrasi. Ia hadir dari segala arah yang memaksa kita untuk ‘mengkonsumsi’ tanpa tahu kegunaannya. Walau telah hadir teknologi cookie yang memungkinkan perangkat pintar kita memilah berita untuk ditampilkan berdasarkan jejak pencarian yang kita lakukan di internet, tapi hal itu tetap saja sebuah bentuk desakkan informasi kepada diri.

Paul Virilio yang menggagas Dromology menyatakan bahwa segala kecepatan yang sedang kita ‘nikmati’ ini mengubah realitas dan cara kita menanggapinya. Kini, yang terjadi adalah kecepatan informasi tidak sebanding dengan kemampuan manusia dalam menyerapnya. Informasi itu datang begitu cepat dan begitu raksasa, sehingga kadang terlalu cepat dan besar untuk dapat diserap oleh pikiran manusia. Dalam bom informasi seperti itu, tidak semua informasi yang datang tersebut dapat berguna untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita. Apa gunanya informasi tentang persidangan Jesicca Wongso terhadap seorang petani di Temanggung yang serbuan informasinya menyeruak melalui layar televisi di ruang tamu rumahnya? Apakah dengan terbongkarnya kasus pembunuhan Mirna akan menghindarkan petani itu dari gagal panen akibat kekeringan atau hama wereng ?. Bill McKibben mengatakan kita sedang berada di “sebuah abad informasi yang melenceng”.

Dalam gencarnya pemberitaan kasus persidangan Jesicca tersebut, tanpa didampingi usaha mengkritisi diri, yang berlangsung sesungguhnya bukanlah peningkatan informasi melainkan misinformasi dan disinformasi. Zygmunt Baumen berpendapat bahwa “masalah kondisi kontemporer adalah bahwa masyarakat telah berhenti mempertanyakan dirinya sendiri”. Kita tidak lagi pernah mempertanyakan diri sendiri tentang informasi apa yang dibutuhkan. Publik cenderung pasif ketika berhadapan dengan serbuan informasi, namun menjadi reaktif ketika telah menerima informasi tersebut sehingga menghasilkan turunan-turunan berita yang dapat dijadikan bahan obrolan ringan (baca: gosip) dengan teman seperkumpulan.

Kasus pembunuhan Mirna ini sepertinya memiliki potensi untuk ‘digosipkan’. Sebagaimana yang ditulis oleh Richard Shears, jurnalis di Daily Mail Australia, kasus pembunuhan ini mirip cerita dalam novel detektif karya Agatha Christie. Ada kecocokan dengan tipikal penonton televisi Indonesia yang menyukai opera sabun dengan bukti begitu menjamur di pertelevisian Indonesia. Maka tak heran bila beritanya dijadikan isu publik, karena kasus tersebut mengandung unsur drama ala sinetron. 

Tentu saja ada motif bisnis (selain motif politik, tentunya) yang melatarbelakangi naiknya sebuah isu di media-media mainstream. Media pasti berkilah bahwa inilah yang sedang ramai diperbincangkan masyarakat sehingga perlu untuk diangkat menjadi topik utama/isu publik. Padahal ada motif mengejar rating dibelakangnya. Sejatinya, sebagaimana Kang Azeza dalam dalam tulisannya “Selera Penonton Televisi: Membentuk atau Dibentuk”, tidak ada yang salah dari konsep bisnis media itu sendiri, tapi masalah muncul ketika televisi sebagai media yang bersentuhan langsung dengan public domain mengabaikkan tanggung jawabnya dan lebih terfokus pada semangat kapitalisme.

Dalam banjir bandang informasi seperti saat ini, dan dampaknya yang menghasilkan gejolak-gejolak itu, kemudian timbul pertanyaan ontologis. Apakah informasi itu digunakan manusia, atau malah informasi yang 'menggunakan manusia' ? Apakah informasi dikendalikan manusia, atau malah informasi itu yang 'mengendalikan' manusia ? Apakah informasi itu ada untuk manusia, atau malah manusia 'ada' untuk informasi ?

"...Djanganlah pada sangkamu akan kahidupan negeri-negeri jang besar lebeh baik deripada perdijaman dinegeri ketjil. Benarlah kehidupan negeri-negeri besar itu ramei, lebih sedap, tetapi djanganlah bersangka kahidupan itu senang, seperti kami dapat merasa dinegeri ketjil, karena dalam negeri besar itu lakunja orang hidup disitu saolah-olah menghambat saorang akan saorang tidak dapat kasenangan dan perhentijan dan tempoh pada pertimbang-menimbang akan perkata fikiran jang ditinggi. “ Surat Kabar Thahaja Sijang No. 3 Maret 1899


Yahya Aditama
Surakarta, 18 Dzulkaidah 1437 H (21 Agustus 2016 M)

Bihun dan Kapitalisme Mutakhir


Baru-baru ini, media sosial diramaikan oleh berita beredarnya jajanan bihun kemasan. Jika dilihat dari isinya, tidak jauh berbeda dengan jajanan “Mie Gemez” yang pernah saya konsumsi sewaktu kecil dulu. Jajanan ringan berbentuk mie kriting yang siap santap tanpa direbus terlebih dahulu. Namun, ada yang lain dari jajanan ini sehingga ramai diperbincangkan orang. Jajanan ini diberi nama ‘Bihun Kekinian’, yang disingkat menjadi “BIKINI”. Selain akronimnya yang cukup kontroversial, desain kemasannya pun ramai diperbincangkan publik. Lihat saja, pada bungkus bagian depan terpampang animasi yang tidak pantas untuk dikonsumsi anak kecil. Belum lagi tagline-nya yang terkesan cukup nakal, “Remas aku...”, yang maknanya pun ambigu; dikaitkan dengan bihunnya atau ‘gambar pada kemasan’ (?).


Kemasan Snack BIKINI

Fenomena ini mengundang tanggapan dari berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat umum, lembaga perlindungan anak, hingga Kapolda Jabar pun memberikan sikap dikarenakan tempat produksi jajanan tersebut (sebagaimana tercantum pada kemasan) berada di Bandung, wilayah kerjanya. Bahkan, Wakil Ketua Komisi II DPR Sodiq Mujahid, mengatakan bahwa ini adalah bentuk pemanfaatan demokrasi yang kebablasan (Republika, 05/08). Keseluruhannya memberikan sikap ‘ketidak-setujuan’ atas bentuk ‘kreativitas’ yang salah arah ini.

Apa yang melatar belakangi strategi yang diusung oleh produsen dari Bihun Kekinian ini ? Adalah kebudayaan kapitalisme global yang telah mengkonstruksi sebuah realitas sosial baru. Dalam kapitalisme, sebagaimana yang dicetuskan oleh Adam Smith (dalam Piliang, 2004) mengenai pasar bebas meniscayakan persaingan bebas. sebab persaingan bebaslah yang membuat kapitalisme itu berjalan. Setiap orang harus menanamkan di dalam dirinya motif mencari keuntungan dan mengumpulkan kekayaan (kepemilikan pribadi), sebab kekayaan itu perlu untuk kesuksesan usaha. Akan tetapi, dewasa ini kapitalisme berkembang menuju titik ekstrem yang bahkan tak terbayangkan oleh Karl Marx dalam kritiknya terhadap sistem kapitalisme. Kapitalisme global sudah menjadi Kapitalisme Mutkahir.

Kapitalisme mutakhir, telah melampaui pandangan Adam Smith tentang pasar bebas. Menurut Adam Smith, meskipun pasar bebas mensarati persaingan bebas namun setiap orang harus menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi (motif persaingan, keuntungan, dan pengumpulan kekayaan) dengan panggilan hati nuraninya akan kebaikan dan perbuatan mulia. Pandangan inilah yang dikritik oleh Yasraf (2004) karena hanya bersifat utopis semata. Bila persaingan bebas dianjurkan, misalnya, apakah caranya juga bebas ? Apakah kita dapat menggunakan setiap strategi, segala taktik, dan semua trik persaingan ? Bagaimana kita berhadapan dengan trik-trik persaingan, lewat iklan, lewat bujuk rayu, lewat iming-iming, lewat erotisme, lewat komodifikasi tubuh yang sarat dengan persoalan-persoalan sosial ? Cukup tegarkah nurani para kapitalis dalam membendung cara-cara persaingan yang justru telah berperan besar dalam menciptakan dekadensi moral dan kematian sosial ?

Kapitalisme mutakhir telah melepaskan dirinya dari kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/tukar, atau yang disebut oleh Jean Francois Lyotard sebagai Ekonomi Libido. Kapital memanfaatkan gairah yang tersimpan dalam diri setiap konsumen tanpa takut akan tabu dan adat. Kebudayaan kapitalisme mutakhir seperti inilah yang bahkan tidak terbayangkan oleh Marx yang lebih mengkritik Kapitalisme dari relasi produksinya, relasi antara pemilik modal (kaum borjuis), para buruh (proletar), dengan alat-alat produksinya. Kapitalisme telah jauh bergerak ke arah semiotika komiditi. Bihun itu biasa saja, sudah banyak yang menjualnya di pasaran. Untuk membuatnya berbeda demi meningkatkan penjualan dan keuntungan maka batas-batas moral harus dilewati, hasrat harus digenjot. Sensualitas lah jawabannya. Gambar yang tak pantas bagi budaya timur telah ditampilkan sebagai komoditas.

Dampak dari citraan seksualitas yang diciptakan salah satunya adalah hancurnya batas-batas sosial. Anak-anak (yang bisa jadi merupakan target penjualan produk jajanan BIKINI) yang terpaparkan oleh media-media yang menampilkan seksualitas (rahasia yang sebelumnya dijaga oleh para orang tua dari anaknya), maka dunia anak-anak secara sosiologis tidak bisa dibedakan dari dunia orang dewasa. Batas sosiologis antara keduanya telah lenyap. Anak-anak sebagai suatu kelompok sosiologis telah lenyap. Kita lihat akhir-akhir ini  banyak anak SD atau SMP telah “menjalin kasih” (baca: berpacaran) dengan teman sebayanya, yang sepantasnya hanya dilakukan oleh pasangan yang telah terikat janji pernikahan. Mereka menjadi konsumen bisu yang terus menerus dicekoki oleh kapital dengan tanda yang mereka pun tak pahami sepenuhnya.

....

Terlepas dari itu semua, dan bagian terpentingnya adalah pendapat saya tentang jajanan BIKINI ini. Dengar-dengar jajanan BIKINI ini di banderol seharga Rp 15.000 per bungkusnya. Belum lagi biaya tambahan untuk ongkos kirimnya, karena memang produk ini dijual secara online. Walah, kalau saya, dengan duit lima belas ribu mending buat beli Indomie, bisa dapat 7 bungkus. Atau untuk beli nasi kucing, bisa dapat 10 bungkus. Atau... saya belikan Mie teksek plus Es Kapal yang terkenal di THR Sriwedari, itupun masih kembali lima ribu rupiah.

Es Kapal THR Sriwedari

Yahya Aditama
Surakarta, 03 Dzulkaidah 1437 H (06 Agustus 2016 M)


Steam Boy; Gambaran Pergulatan Sains


Steam Boy, sebuah film animasi yang dirilis pertengahan tahun 2004 garapan studio animasi Sunrise yang ditulis dan juga disutradarai oleh Katsuhiro Otomo ini bercerita tentang petualangan seorang anak lelaki berusia 13 Tahun yang bernama James Ray Steam. Ia adalah seorang penemu (inventor) cilik yang tinggal di Manchester. Kemampuan dalam mencipta barang-barang itu diwarisi dari budaya intelektual keluarganya (ayah dan kakeknya).

Film berdurasi dua jam lebih ini berlatar-belakangkan keadaan Britania Raya (London dan Manchester) paska Revolusi Industri, atau setelah ditemukannya mesin uap. Di akhir abad ke-19, Britania Raya digambarkan dalam film ini sedang ketergantungan akan kemampuan mesin uap di segala bidang, khususnya industri. Dari latar belakang inilah, dua orang ilmuwan yaitu Lloyd Steam dan Edward Steam (Kakek dan Ayah dari Ray Steam) melakukan ekspedisi jauh ke Alaska untuk mencari mineral yang mereka percaya dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya utama untuk mesin uap.

Keluarga 


Llyod dan Edward melakukan eksperimen (walau berakhir dengan kekacauan) yang menghasilkan sebuah bola uap bertekanan sangat tinggi, yaitu Steam Ball. Dengan uap tekanan tingginya, bola uap ini bersifat sebagaimana baterai dalam alat-alat elektronik, yaitu menyalurkan energi untuk seluruh penggunaan mesin uap. Digambarkan Steam Ball ini memiliki energi tersimpan yang cukup besar dengan tekanan tingginya. Karena kemampuan hebat dari bola uap inilah, sang kakek yang berada di London mengirimkannya langsung  kepada Ray yang tinggal di Manchester karena takut akan disalah-gunakannya bola uap tersebut. Mulai dari sinilah, Ray ditarik kepada polemik kepentingan yang terjadi di antara para ilmuwan Britania Raya.

Steam Ball

Ray yang telah diserahkan untuk menjaga bola uap oleh kakeknya ini harus berjibaku menghadapi orang-orang yang saling memperebutkan benda ‘ajaib’ tersebut. Mulai dari O’Hara Foundation, perusahaan ayah dan kakeknya bekerja, hingga Mr. Robert Stephenson, ilmuwan yang dibekingi oleh militer Britania Raya yang diam-diam juga ikut  memperebutkannya. Ray berserta Bola Uapnya akhirnya mampu diamankan oleh O’Hara Foundation, yang ternyata atas perintah ayahnya, Edward Steam (Eddy).

Setelah bertemu ayahnya, kemudian Ray diajak berkeliling untuk melihat-lihat proyek ambisius ciptaan ayahnya tersebut, yaitu Menara Steam. Konsep Menara Steam ini pada awalnya dikonsepkan oleh Kakek Ray. Dr. Llyod pada awalnya mengharapkan Menara Steam ini menjadi sebuah taman bermain raksasa yang digerakan oleh mesin uap untuk dapat memberikan kebahagian bagi semua orang, khususnya anak-anak. Namun karena berbeda pandangan, akhirnya Edward Steam merubahnya menjadi sebuah benda raksasa yang mampu terbang yang di dalamnya menyimpan berbagai penemuan Edward Steam yang keseluruhannya berkaitan dengan aktivitas militer (Tank uap, baju perang uap, pesawat terbang uap sederhana, dll). Mulai dari kenyataan inilah, Ray merasakan kegundahannya, bahwa apa yang dilakukan sang ayah tidaklah benar, apalagi kemudian Ray bertemu dengan kakeknya yang kemudian mempengaruhinya kepada ekstrem yang berlawanan.

Berlanjut dengan aksi saling rebut salah satu dari dua Steam Ball. Perebutan terjadi antara Ray yang disokong oleh kakeknya, Edward Steam yang dibantu oleh O’Hara Foundation, dan Mr. Stephenson yang dibekingi oleh kekuatan militer Britania Raya. Berbarengan dengan digelarnya Pameran Besar Ilmu Sains di Istana Kaca (Crystal Palace), O’Hara Foundation yang kedatangan pemimpin militer dari berbagai negara tersebut melakukan demonstrasi penemuan-penemuan militernya, yang akhirnya menjadi peperangan kecil antara ‘tentara’ O’Hara Foundation yang menggunakan seluruh penemuan militernya dengan militer Britania Raya yang dibantu oleh penemuan-penemuan Mr. Stephenson.

Dengan keadaan yang mulai kacau, juga tak kunjung kembalinya Ray bersama bola uap (yang ternyata Ray telah menyebrang kepada kubu Mr. Stephenson), membuat Edward Steam gusar dan akhirnya memaksakan untuk menjalankan Menara Steam dengan hanya menggunakan satu bola uap saja. Dengan mengambil resiko tersebut, Edward bergumam “Dari mengambil resiko, datang kemajuan”. Dengan bangunnya ‘raksasa’ Menara Steam tersebut, tentu saja menambah buruk keadaan, sampai-sampai Dr. Llyod berucap “Pintu neraka baru saja dibuka”. Hingga akhirnya, dengan dua orang (Edward dan Llyod Steam) yang berseberangan pemikiran berada di dalam Menara Steam, juga serangan-serangan militer Britania Raya dari luar membuat kondisi Menara Steam tidak stabil yang kemudian tanpa dimaksudkan, Menara Steam tersebut mulai mengarah ke tengah-tengah Kota London yang padat penduduk.

Keadaan berbahaya ini memicu kesadaran Edward Steam yang akhirnya mau bekerjasama dengan Dr. Llyod dan juga Ray untuk kembali mengendalikan Menara Steam yang sudah tak stabil kondisinya menuju Sungai Thames agar dapat diredam dengan sedikit resiko. Singkat cerita, pada akhirnya Menara Steam mampu diredam di atas Sungai Thames dengan dampak yang tidak lebih besar bila jatuh di tengah-tengah kota. Ray telah selamat keluar dari Menara Steam menggunakan jetpack dan menyisakan Dr. Llyod bersama Dr. Edward yang masih berada di dalam Menara Steam. Melihat Menara Steam yang telah ‘dijinakkan’, Ray dengan yakin keadaan Ayah dan Kakeknya tersebut dalam kondisi selamat, lalu ia bergumam dengan santainya, “Jaman baru ilmu sains, baru saja dimulai, mereka pasti akan kembali”.

Revolusi Industri dan Pergulatan Sains

Pada abad ke-17 dan ke-18, ilmuwan-ilmuwan Inggris tidaklah profesional, dalam artian mereka tidak menjadikannya profesi yang mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Umumnya mereka berasal dari kalangan atas (golongan bangsawan dan para tuan tanah) yang mempunyai kekayaan serta waktu luang, yang mana menjadikan sains sebagai suatu hobi. Sebagai filosof alam, mereka menekuni seluruh wilayah sains tanpa mempertimbangkan kegunaan atau kepraktisannya, tetapi berurusan dengan sains demi sains itu sendiri (Cemil Akdogan, 2005)

Revolusi Industri untuk pertama kali terjadi di Inggris pada tahun 1780-an dalam industri tekstil, batu bara, dan industri besi. Dan pada awal-awal Revolusi Industri, semata-mata masih bergantung kepada karya tangan, ini artinya ia tidak bersifat ilmiah. Dengan terus berkembangnya dunia industri di Britania Raya/Inggris, serta beberapa faktor kunci yang turut mendorong suksesnya Revolusi Industri seperti terbentuknya koorporasi juga pasar bebas (kapitalisme), sehingga meniscayakan sains profesional untuk membuat berbagai macam teknologi yang mendukung dunia industri tersebut, maka dari sini timbullah masyarakat ilmiah (society of science) baru.

Terjadinya pergeseran asal-usul sosial para ilmuwan yang awalnya hanya berasal dari kelas atas (upper class) kepada kelas menengah (middle class) dan kelas bawah (lower class). Serta kenyataan bahwa para ilmuwan yang berasal dari kelas menengah ataupun kelas bawah tersebut membutuhkan kerjasama dengan koorporasi industri besar dalam hal pendanaan untuk penelitian ilmiahnya, dan koorporasi mendapatkan keuntungan dari penemuan-penemuan ilmuwan tersebut. Maka terjadilah simbiosis mutualisme antara ilmuwan dengan industri, yang sayangnya, ketika para ilmuwan terlena dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan industri, mereka mengabdikan sainsnya kepada industri, di sini lah mulai terjadi pergeseran paradigma.

Jika kita analisa dari film Steam Boy, fenomena simbiosis ilmuwan-industri dapat kita lihat pada keluarga ilmuwan Steam. Keluarga ilmuwan Steam kemungkinan berasal dari kalangan masyarakat kelas menengah, atau bahkan bisa jadi dari kalangan kelas bawah yang sangat beruntung. Ini terlihat ketika mereka (keluarga Steam) yang begitu mencintai sains namun tidak memiliki modal untuk melakukan penelitiannya harus bekerjasama dengan O’Hara Foundation sebagai penyandang dana dalam penelitian Steam Ball tersebut. Dan dikarenakan pengeluaran untuk penelitian yang begitu besar, maka O’Hara Foundation memaksakan kehendaknya untuk segera dibuatkan teknologi yang laku di pasaran, yang pada saat itu, pasar terbesar itu adalah teknologi kemiliteran; kaitannya dengan invasi bangsa Eropa ke Kawasan Dunia Ketiga juga percikan timbulnya PD 2. Edward Steam yang begitu tergila-gila dengan sains juga kemajuan, menyetujui pilihan tersebut asalkan hasrat terhadap sainsnya terpenuhi.

Berbeda pandangan dengan Edward, yang tak lain adalah anaknya sendiri, Dr. Llyod lebih memilih menarik diri dari industri O’Hara Foundation tersebut. Tetapi ia juga tak ingin hasil ciptaannya (steam ball & Menara Steam) digunakan untuk tujuan yang melenceng dari apa yang ia konsepkan, sehingga ia melakukan aksi pencurian terhadap steam ball tersebut. Yang kemudian menimbulkan ekstrem berbeda daripada yang dipilih anaknya, Edward Steam.

Dari fenomena pertentangan dua pemikiran ilmuwan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata sains itu tidak sepenuhnya bebas nilai. Kubu ekstrem pertama, Edward Steam yang disokong oleh O’Hara Foundation, membuat pemikiran bahwa “Ilmu Sains harus mengabdikan kemajuannya untuk seluruh dunia”. Mungkin secara sekilas pemikiran ini sangat bagus, tapi sayangnya Edward Steam yang terikat oleh kekuatan industri salah mengartikan ‘kemajuan’ untuk seluruh dunia dengan cara membuat mesin-mesin perang yang bernilai-jual pada pasar saat itu. Kubu ekstrem kedua, dengan pemikiran Dr. Llyod Steam bahwa “Ilmu sains haruslah menampakkan kebijakan-kebijakan yang universal” yang diejawantahkan dalam bentuk taman bermain anak-anak. Terjadi pertengkaran sengit pada tataran aksiologi dari sains, pertengkaran seputar tujuan daripada sains tersebut.

Pergulatan juga terjadi di ranah paradigma atau kerangka berpikir yang menghasilkan sains itu sendiri. Bila menengok dari sejarah bangsa Eropa yang mengalami Revolusi Sains juga Revolusi Industri, maka akan berangkat dari zaman Renaissans yang berakar dari paradigma sekuler. Menurut Harvey Cox, bagian-bagian utama dari dimensi sekularisasi mencakup; penghilangaan pesona dari alam tabi’i (disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization of politics), dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconsecration of values). Yang ketiga dimensi ini membentuk paradigma sains sekuler sehingga menimbulkan Revolusi Cartesian. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme secara tepat menggambarkan: “Revolusi Cartesian pada abad ke-17 menghasilkan dualisme final antara materi (benda) dengan roh sehingga alam (tabii) dibiarkan terbuka untuk dikaji dan melayani sains sekular, dan menempatkan manusia dalam tingkatan di mana tidak ada yang lain kecuali nasib dunia bergantung padanya”.

Terjadilah paradoks, dimana teknologi semakin maju, tetapi keadaan alam yang tereksploitasi besar-besaran. Jika dianalisa dari film Steam Boy di atas, jelas mereka menganggap bahwa alam harus tunduk pada sains dan diperbolehkan untuk dieksploitasi semata-mata untuk hasrat keilmuan. Ini adalah salah satu bentuk kesalahan dalam pemilihan pandangan terhadap dunia (world-view) sehingga mengacaukan makna kosmos.

Sekilas Tentang Sains Islam

Jika ditilik dari aspek terminologinya, sulit untuk menyepadankan kata sains atau science (eng) dengan kata yang memiliki ciri khas dalam Islam. Islam sebagai sebuah dien memiliki konsep ilmu yaitu al-‘Ilm. Kata ‘ilm tak bisa disepadankan dengan science ataupun knowledge. Kata ‘ilm memiliki makna yang begitu dalam, begitu tinggi, juga begitu luas, ketimbang kata science ataupun knowledge yang menggambarkan ilmu dalam Bahasa Inggris.

Kalau kita melihat pandangan Jujun S. Suriasumantri mengenai persoalan definisi knowledge dan science, ia akan memberikan definisi yang berbeda dari keduanya. Knowledge, menurut pandangannya, adalah pengetahuan yang bersifat generik, sedangkan science adalah bentuk pengetahuan yang spesifik yang mempunyai objek ontologis, landasan epistemologis dan landasan aksiologis yang khas. Dalam Bahasa Indonesia, Jujun memberikan alternatifnya bahwa kata knowledge berarti pengetahuan dan science yaitu ilmu pengetahuan.

Menurut kamus Webster’s New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire, yang artinya mengetahui. Secara bahasa, science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini kemudian mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga berarti “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip yang dikaji”. Dengan demikian telah terjadi pergeseran makna sains dari “pengetahuan” menjadi “pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi”. Tren ini kemudian mengarah pada pembatasan lingkup sains hanya pada dunia fisik. Hal ini dapat dilihat kemudian dari definisi lain yang diberikan oleh kamus tersebut pada science sebagai “pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik” (Kartanegara, 2003)

Sekarang mari kita melihat penjelasan tentang ilmu pengetahuan dari ilmuwan muslim kenamaan, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Menurut Prof. Wan Daud, yang merujuk pada kamus Arabic-English Lexicon, perkataan ‘ilm berasal dari kata ‘ain-lâm-mîm yang diambil dari kata ‘alâmah, yaitu ‘tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri-ciri; indikasi; tanda-tanda’. Disebabkan hal seperti inilah, sejak dahulu umat Islam menganggap ‘ilm, ’ilmu pengetahuan’, berarti Al-Quran; syariat; sunnah; Islam; iman; ilmu spiritual (‘ilm al-ladunni), hikmah dan ma’rifah, atau sering juga disebut cahaya (nûr); pikiran (fikrah), sains (khususnya ‘ilm yang kata jamaknya ‘ulûm), dan pendidikan yang kesemuanya menghimpun semua hakikat ilmu.

Di ranah epistemologi, yang membahas tentang sumber-sumber ilmu serta cara meraihnya, Sains Islam jelas berbeda dengan Sains Barat yang sekuler. Jika Sains Barat hanya mengakui sumber-sumber ilmunya dari sesuatu yang bersifat empiri-rasionalistik saja (positivistik), berbeda halnya dengan Sains Islam. Dalam Sains Islam, juga mengakui sumber ilmu yang berasal dari empiri-rasionalistik­, tetapi tidak serta merta menolak sumber pengetahuan yang bersifat metafisik, bahkan menjadikan wahyu sebagai inspirasi tingkat pertama dalam hierarki sumber ilmu. Sejak awal, tradisi ilmu dalam Islam bersifat ‘tauhidy´ yang artinya tidak sekuler, tidak mendikotomiskan antara unsur dunia dan unsur akhirat; antara ilmu-ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sebagaimana tertera pada ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yaitu QS Al-Alaq ayat 1, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. Semua itu bermuara pada satu tujuan, yaitu untuk mengenal (ma’rifah) kepada Allah SWT dan mencintai ibadah kepadanya (Husaini, 2003)

Singkatnya, Adi Setia dalam jurnalnya Tiga Pengertian Sains Islam (2007) mencoba memberikan pengertian dari Sains Islam. Ia mendapati tiga pengertian yang banyak dipakai dalam mendefinisikan ‘Sains Islam’. Pengertian pertama, Sains Islam sebagai disiplin ilmu yang mengkaji sejarah perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban Islam serta kaitannya dengan perkembangan sains dan teknologi di dunia Barat. Pengertian kedua adalah Sains Islam sebagai disiplin ilmu dalam bidang Filsafat Sains dan Filsafat Islam yang merumuskan konsep, filsafat, dan metodologi sains yang telah, sedang atau yang semestinya memandu kegiatan sains dalam peradaban Islam.

Pengertian ketiga adalah Sains Islam sebagai disiplin ilmu yang mengkaji perumusan kembali Sains Islam sebagai proyek penelitian (research program) jangka panjang yang bersifat tajribi (experimental), amali (practical), dan inderawi (empirical) yang bertujuan melaksanakan tata nilai ilmu dan tata nilai adab Islami dalam semua kegiatan sains dan teknologi masa kini. Dalam artian, seorang saintis memberikan usaha sungguh-sungguh dan bercita-cita tinggi lagi sejagat sifat kesarjanaannya untuk memadukan secara kritis semua kegiatan sains dalam kerangka worldview Islam, serta berupaya menjelaskan implikasi epistemologis, metodologis, dan aksiologis yang bakal terhasil dari proses pemaduan kritis tersebut terhadap praktik sains kontemporer.

Pengertian ketiga tersebut, Masih menurut Adi Setia,  menjadikan Sains Islam sebagai suatu kerangka atau paradigma baru, dan metodologi penelitian baru, bagi semua kegiatan sains masa kini demi terbentuknya sains dan teknologi yang menzahirkan ‘Pandangan Islam’ (Islamic Worldview) di dunia nyata, baik di dalam penerapan sains dan teknologi semasa, khususnya, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan Sains Islam boleh dirumuskan sebagai “agenda penelitian aqli dan tajribi (intellectual and experimental research program) mengenai pelbagai aspek kejadian alam tabi’i (natural world), dengan tujuan mengasah keyakinan kita terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan Sang Pencipta”. Pengertian ini lebih menitikberatkan sifat keilmiahan atau sifat kognitif sains daripada sifat kebergunaan (utility) atau instumentalitasnya.

       Adi melanjutkan, hal itu karena tujuan akhir sains dalam Islam ialah ilmu yaqini tentang kebenaran mutlak, tentang hakikat tertinggi, tentang aspek nomena di sebalik fenomena, tentang makna diri insan dan makna diri alam, tentang kesyukuran dan pengabdian diri kepada Pencipta, yang semuanya itu merupakan aspek-aspek kemakrifatan akan hakikat tertinggi sekadar yang mampu dicapai insan. Adapun aspek kebergunaan/instrumentalitas sains sebagai teknologi dalam membangun kemakmuran hidup di dunia yang fana ini, maka itu hanya merupakan sifat pengantara (wasilah) demi mencapai tujuan yang lebih mendasar dan luhur demi karena firman Allahwa al-âkhiratu khayrun wa abqâ,”(QS 87:17), yang artinya “dan sesungguhnya alam Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal,” dan demi karena tugas insan di dunia dana ini ialah menzahirkan kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Tinggi dalam pemikiran, pertuturan, dan pengalaman.

Menimbang Teknologi Berkelanjutan

Di Eropa, dimana Revolusi Sains dan Revolusi Industri terjadi, pada awalnya sains dan teknologi bukanlah satu, melainkan memiliki jalan masing-masing yang berbeda dan independen. Teknologi, telah berkembang tanpa suatu input ilmiah. Hingga dekade pertengahan abad ke-19 di mana industri tekstil yang berorientasi pada kimia, mengharuskan interaksi antara sains dan teknologi, barulah betul-betul tercipta teknologi berbasis sains, yang kemudian menjadi faktor penting dalam mengubah masyarakat modern secara drastis.

Menurut Cemil Akdogan, sains menjadi mudah disepelekan dan dilupakan karena ia merupakan usaha keras yang abstrak dan tak tampak. Kita harus sadar bahwa sains bukanlah teknologi. Sains berkenaan dengan gagasan-gagasan dalam bentuknya yang abstrak, sementara teknologi bertujuan memproduksi benda-benda (alat, mesin, dan sebagainya) yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan kata lain, teknologi merupakan aplikasi sains, dan tanpa pemahaman dan penguasaan landasan ilmiah, sekadar memproduksi piranti-piranti teknologi melalui imitasi adalah sangat berisiko.

Jika kembali meninjau pada subjudul sebelumnya, di mana tujuan akhir sains dalam Islam ialah ilmu yaqini tentang aspek kemakrifatan akan hakikat tertinggi sekadar yang mampu dicapai insan. Sedangkan teknologi merupakan aspek kebergunaan/instrumentalitas sains dalam membangun kemakmuran hidup di dunia yang fana, maka teknologi merupakan wasilah untuk mencapai tujuan sains dalam Islam yang luhur tersebut.

Cukup sulit bagi penulis untuk memberikan keterkaitan antara Sains Islam dengan Teknologi Berkelanjutan. Seperti kita ketahui, Teknologi Berkelanjutan merupakan turunan daripada Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yang terdiri dari tiga tiang utama yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun sayang, teknologi berkelanjutan ini makin hari makin hilang arah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa teknologi merupakan bentuk aplikasi dari sains, maka ia menghasilkan produk. Produk-produk yang dihasilkan oleh gagasan ‘Teknologi Berkelanjutan’ seperti misalnya, penyejuk udara hemat energi, justru tidaklah membawa gagasan keberkelanjutannya.

Pembangunan Berkelanjutan ini, baik disadari maupun tidak, didasari oleh sifat konsumtif yang tanpa melalui nalar kritis. Produk seperti penyejuk udara hemat energi ini tidak menyelesaikan masalah secara holistik. Produk tersebut malah menumpulkan sisi kreatifitas bagi seorang arsitek, misalnya, dengan mudah menggunakan penyejuk ruangan tanpa lagi perlu pusing memikirkan sirkulasi udara yang tepat dalam sebuah bangunan. Lebih jauh lagi, hal ini tidak memberikan dampak bagi membaiknya suhu bumi, hanya memperlambat. Atau misalkan pada gagasan bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor. Ketika penggunaannya tidak didasari oleh nalar kritis yang mendampingi sifat konsumsinya, maka yang terjadi adalah perulangan masalah sebagaimana sebelumnya. Bahan bakar alternatif akan terus diproduksi demi memenuhi kebutuhan yang kian hari kian bertambah tak terkontrol.

Bila kita memahaminya secara perlahan, yang terjadi adalah bukan gagalnya gagasan Pembangunan Berkelanjutan atau Teknologi Berkelanjutan tersebut. Tetapi kegagalan kita dalam mendiagnosa penyakit. Kerusakan Bumi tidak sepenuhnya disebabkan oleh produk-produk dari teknologi yang sudah ada, melainkan oleh gagasan yang tercipta dari sains yang salah menggunakan worldview. Sains Barat menganggap bahwa alam (nature) bertugas melayani manusia yang berada di posisi piramida tertinggi (antroposentris), sehingga perilaku eksploitasi alam pun dibenarkan. Gagasan yang terdapat pada Sains Barat inilah yang berujung pada kesalahan penggunaan teknologi yang menimbulkan paradoks kehancuran.

Dalam bentuk aplikatifnya, teknologi yang dihasilkan dari Sains Islam tentu bersifat berkelanjutan (sustainable). Dan walaupun diiringi oleh sifat konsumtif namun ia didampingi oleh nalar kritis serta kepemahaman mengenai posisi dirinya dengan alam semesta yang terikat oleh kewajiban sebagai khalifatullah di muka bumi. Ia harus berangkat dari keadaan kebutuhan, kebutuhan akan aspek kemakrifatan hakikat tertinggi. Ketika Allah SWT sebagai khalik mengutus manusia sebagai khalifatullah (wakil-Nya) di Bumi, maka sifat Allah Yang Maha Menjaga haruslah diresapi oleh setiap manusia, agar dapat menjaga sesama makhluk yang mengisi semesta raya, termasuk bumi itu sendiri (yang juga merupakan makhluk). Bukannya malah mengeksploitasinya dengan pandangan bahwa manusia adalah puncak piramida kosmos yang berarti menafikkan Tuhan.

Bukan berarti setelah penggunaan Sains Islam dalam memproduksi teknologi akan memunculkan produk “Islami semacam AC Islami, Pesawat Islami, dsb. Yang ada adalah diterapkannya teknologi, baik yang sudah ada atau yang akan ada, setelah melalui proses pemilahan, kepada kebutuhan sebagaimana terbentuk dari Islamic Worldview. Teknologi tepat-guna yang merupakan bentuk aplikasi dari Sains Islam yang didasari dari Islamic Worldview, inilah yang kita butuhkan. Teknologi akan sejalan dengan konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Yang kemudian, Teknologi tepat-guna ini akan menciptakan keharmonisan antara manusia dengan alam, yang berarti keberimanan kepada Tuhannya.

Untuk menutup tulisan yang cukup panjang ini, saya ingin menegaskan, bahwa sains haruslah berangkat dari pandangan dunia Islam (Islamic Worldview), sehingga terhindar dari kerusakan yang semakin jelas terlihat seperti yang diakibatkan oleh penggunaan pandangan dunia Barat. Dan dengan usaha yang terjaga, akan meniscayakan lahirnya teknologi tepat-guna demi tercapainya tujuan manusia yang hakiki, mengenal Khaliknya.

Jadi, sudah tepatkah penggunaan jargon Teknologi Berkelanjutan yang ternyata selama ini kita gunakan sebagai pembenaran atas sifat konsumtif kita yang berlebihan? Menjadi pembenaran dari Hedonsitik Keberlanjutan ? Atau kita harus kembali memperbaiki gagasan dibalik jargon Teknologi Berkelanjutan tersebut? Maka, kembali kepada Islam sebagai dien, yang mengawal seluruh aspek kehidupan kita agar selamat dunia akhirat adalah jawaban terbaik. Semoga kita semua ditunjukan-Nya jalan yang lurus. Aamiin.



Yahya Wido Aditama
Surakarta, 27 Rajab 1437 Hijriah (04 Mei 2016 Masehi).
Diperbaiki 22 mei 2016, untuk rubrik Artikel Pendukung Majalah KONTUR Edisi Juni 2016.
Powered by Blogger.

Followers