Steam
Boy, sebuah film animasi yang dirilis pertengahan tahun 2004 garapan studio
animasi Sunrise yang ditulis dan juga disutradarai oleh Katsuhiro Otomo ini
bercerita tentang petualangan seorang anak lelaki berusia 13 Tahun yang bernama
James Ray Steam. Ia adalah seorang penemu (inventor)
cilik yang tinggal di Manchester. Kemampuan dalam mencipta barang-barang itu diwarisi dari budaya intelektual
keluarganya (ayah dan kakeknya).
Film
berdurasi dua jam lebih ini berlatar-belakangkan keadaan Britania Raya (London
dan Manchester) paska Revolusi Industri, atau setelah ditemukannya mesin uap.
Di akhir abad ke-19, Britania Raya
digambarkan dalam film ini sedang ketergantungan akan kemampuan mesin uap di segala
bidang, khususnya industri. Dari latar belakang inilah, dua orang ilmuwan yaitu
Lloyd Steam dan
Edward Steam (Kakek dan Ayah dari Ray Steam) melakukan ekspedisi jauh ke Alaska
untuk mencari mineral yang mereka percaya dapat dimanfaatkan sebagai sumber
daya utama untuk mesin uap.
|
Keluarga |
Llyod
dan Edward melakukan eksperimen (walau berakhir dengan kekacauan) yang
menghasilkan sebuah bola uap bertekanan sangat tinggi, yaitu Steam Ball. Dengan uap tekanan tingginya, bola uap ini
bersifat sebagaimana baterai dalam alat-alat elektronik, yaitu menyalurkan
energi untuk seluruh penggunaan mesin uap. Digambarkan Steam Ball ini memiliki energi tersimpan yang cukup besar dengan
tekanan tingginya. Karena kemampuan hebat dari bola
uap inilah, sang kakek yang berada di London mengirimkannya langsung kepada Ray yang tinggal di Manchester karena
takut akan disalah-gunakannya bola uap tersebut. Mulai dari sinilah, Ray
ditarik kepada polemik kepentingan yang terjadi di antara para ilmuwan Britania
Raya.
|
Steam Ball |
Ray
yang telah diserahkan untuk menjaga bola uap oleh kakeknya ini harus berjibaku
menghadapi orang-orang yang saling memperebutkan benda ‘ajaib’ tersebut. Mulai
dari O’Hara Foundation, perusahaan ayah dan kakeknya bekerja, hingga Mr. Robert
Stephenson, ilmuwan yang dibekingi oleh militer Britania Raya yang
diam-diam
juga ikut memperebutkannya. Ray berserta Bola Uapnya
akhirnya mampu diamankan oleh O’Hara Foundation, yang ternyata atas perintah
ayahnya, Edward Steam (Eddy).
Setelah
bertemu ayahnya, kemudian Ray diajak berkeliling untuk melihat-lihat proyek
ambisius ciptaan ayahnya tersebut, yaitu Menara Steam. Konsep Menara Steam ini pada awalnya
dikonsepkan oleh Kakek Ray. Dr. Llyod
pada awalnya mengharapkan Menara Steam ini menjadi sebuah taman bermain raksasa
yang digerakan oleh mesin uap untuk dapat memberikan kebahagian bagi semua
orang, khususnya anak-anak. Namun karena
berbeda pandangan, akhirnya Edward Steam merubahnya menjadi sebuah benda
raksasa yang mampu terbang yang di dalamnya menyimpan berbagai penemuan Edward
Steam yang keseluruhannya berkaitan dengan aktivitas militer (Tank uap, baju
perang uap, pesawat terbang uap sederhana, dll). Mulai dari kenyataan inilah,
Ray merasakan kegundahannya, bahwa apa yang dilakukan sang ayah tidaklah benar,
apalagi kemudian Ray bertemu dengan kakeknya yang kemudian mempengaruhinya
kepada ekstrem yang berlawanan.
Berlanjut
dengan aksi saling rebut salah satu dari dua Steam Ball. Perebutan terjadi antara Ray yang disokong oleh
kakeknya, Edward Steam yang dibantu oleh O’Hara Foundation, dan Mr. Stephenson yang dibekingi oleh kekuatan militer
Britania Raya. Berbarengan
dengan digelarnya Pameran Besar Ilmu Sains di Istana Kaca (Crystal Palace), O’Hara Foundation yang kedatangan pemimpin militer
dari berbagai negara tersebut melakukan
demonstrasi penemuan-penemuan militernya, yang akhirnya menjadi peperangan kecil antara ‘tentara’
O’Hara Foundation yang
menggunakan seluruh penemuan militernya dengan militer Britania Raya yang dibantu oleh
penemuan-penemuan Mr. Stephenson.
Dengan
keadaan yang mulai kacau, juga tak kunjung kembalinya Ray bersama bola uap
(yang ternyata Ray telah menyebrang kepada kubu Mr. Stephenson), membuat Edward Steam gusar dan akhirnya
memaksakan untuk menjalankan Menara Steam dengan hanya menggunakan satu bola uap
saja. Dengan
mengambil resiko tersebut, Edward bergumam “Dari mengambil resiko, datang
kemajuan”. Dengan bangunnya ‘raksasa’ Menara Steam tersebut, tentu saja menambah buruk keadaan,
sampai-sampai Dr. Llyod
berucap “Pintu neraka baru saja dibuka”. Hingga akhirnya, dengan dua orang
(Edward dan Llyod Steam) yang berseberangan pemikiran berada di dalam Menara
Steam, juga serangan-serangan militer Britania Raya dari luar membuat kondisi
Menara Steam tidak stabil yang kemudian tanpa dimaksudkan, Menara Steam
tersebut mulai mengarah ke tengah-tengah Kota London yang padat penduduk.
Keadaan
berbahaya ini memicu kesadaran Edward Steam yang akhirnya mau bekerjasama
dengan Dr. Llyod dan juga
Ray untuk kembali mengendalikan Menara Steam yang sudah tak stabil kondisinya
menuju Sungai Thames agar dapat diredam dengan sedikit resiko. Singkat cerita,
pada akhirnya Menara Steam mampu diredam di atas Sungai Thames dengan dampak
yang tidak lebih besar bila jatuh di tengah-tengah kota. Ray telah selamat
keluar dari Menara Steam menggunakan jetpack
dan menyisakan Dr. Llyod
bersama Dr. Edward yang
masih berada di dalam Menara Steam. Melihat Menara Steam yang telah
‘dijinakkan’, Ray dengan yakin keadaan Ayah dan Kakeknya tersebut dalam kondisi
selamat, lalu ia bergumam dengan santainya, “Jaman baru ilmu sains, baru saja
dimulai, mereka pasti akan kembali”.
Revolusi Industri dan Pergulatan Sains
Pada
abad ke-17 dan ke-18, ilmuwan-ilmuwan Inggris tidaklah profesional, dalam
artian mereka tidak menjadikannya profesi yang mengharuskan adanya pembayaran
untuk melakukannya. Umumnya mereka berasal dari kalangan atas (golongan
bangsawan dan para tuan tanah) yang mempunyai kekayaan serta waktu luang, yang
mana menjadikan sains sebagai suatu hobi. Sebagai filosof alam, mereka menekuni
seluruh wilayah sains tanpa mempertimbangkan kegunaan atau kepraktisannya,
tetapi berurusan dengan sains demi sains itu sendiri (Cemil Akdogan, 2005)
Revolusi
Industri untuk pertama kali terjadi di Inggris
pada tahun 1780-an dalam industri tekstil, batu bara, dan industri besi. Dan
pada awal-awal Revolusi Industri, semata-mata masih bergantung kepada karya
tangan, ini artinya ia tidak bersifat ilmiah. Dengan terus berkembangnya dunia
industri di Britania Raya/Inggris, serta beberapa faktor kunci yang turut
mendorong suksesnya Revolusi Industri seperti terbentuknya koorporasi juga
pasar bebas (kapitalisme),
sehingga meniscayakan sains profesional untuk membuat berbagai macam teknologi
yang mendukung dunia industri tersebut, maka dari sini timbullah masyarakat ilmiah (society of science) baru.
Terjadinya
pergeseran asal-usul sosial para ilmuwan yang awalnya hanya berasal dari kelas
atas (upper class) kepada kelas
menengah (middle class) dan kelas
bawah (lower class). Serta kenyataan bahwa para ilmuwan yang berasal dari
kelas menengah ataupun kelas bawah tersebut membutuhkan kerjasama dengan
koorporasi industri besar dalam hal pendanaan untuk penelitian ilmiahnya, dan
koorporasi mendapatkan keuntungan dari penemuan-penemuan ilmuwan tersebut. Maka
terjadilah
simbiosis mutualisme antara ilmuwan dengan industri, yang
sayangnya, ketika para ilmuwan terlena dengan fasilitas-fasilitas yang
diberikan industri, mereka mengabdikan sainsnya kepada industri, di sini lah
mulai terjadi pergeseran paradigma.
Jika
kita analisa dari film Steam Boy, fenomena simbiosis ilmuwan-industri dapat
kita lihat pada keluarga ilmuwan Steam. Keluarga ilmuwan Steam kemungkinan
berasal dari kalangan masyarakat kelas menengah, atau bahkan bisa jadi dari
kalangan kelas bawah yang sangat beruntung. Ini terlihat ketika mereka
(keluarga Steam) yang begitu mencintai sains namun tidak memiliki modal untuk
melakukan penelitiannya harus bekerjasama dengan O’Hara Foundation sebagai
penyandang dana dalam penelitian Steam
Ball tersebut. Dan dikarenakan pengeluaran untuk penelitian yang begitu
besar, maka O’Hara Foundation memaksakan kehendaknya untuk segera dibuatkan
teknologi yang laku di pasaran,
yang pada saat itu, pasar terbesar
itu
adalah teknologi kemiliteran; kaitannya dengan invasi bangsa Eropa ke Kawasan
Dunia Ketiga juga percikan timbulnya PD 2. Edward Steam yang begitu
tergila-gila dengan sains juga kemajuan, menyetujui pilihan tersebut asalkan
hasrat terhadap sainsnya terpenuhi.
Berbeda
pandangan dengan Edward, yang tak lain adalah anaknya sendiri, Dr. Llyod lebih memilih menarik diri dari
industri O’Hara Foundation tersebut. Tetapi ia juga tak ingin hasil ciptaannya (steam ball & Menara Steam) digunakan
untuk tujuan yang melenceng dari apa yang ia konsepkan, sehingga ia melakukan aksi pencurian
terhadap steam ball tersebut. Yang
kemudian menimbulkan ekstrem berbeda daripada yang dipilih anaknya, Edward
Steam.
Dari
fenomena pertentangan dua pemikiran ilmuwan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ternyata sains itu tidak
sepenuhnya bebas nilai. Kubu ekstrem pertama, Edward Steam yang disokong oleh O’Hara Foundation,
membuat pemikiran bahwa “Ilmu Sains harus mengabdikan kemajuannya untuk seluruh
dunia”. Mungkin secara sekilas pemikiran ini sangat bagus, tapi sayangnya Edward
Steam yang terikat oleh kekuatan industri salah mengartikan ‘kemajuan’ untuk
seluruh dunia dengan cara membuat mesin-mesin perang yang bernilai-jual pada
pasar saat itu. Kubu ekstrem kedua, dengan pemikiran Dr. Llyod Steam bahwa “Ilmu sains haruslah menampakkan kebijakan-kebijakan yang universal”
yang diejawantahkan dalam bentuk taman bermain anak-anak. Terjadi pertengkaran
sengit pada tataran aksiologi dari sains, pertengkaran seputar tujuan daripada
sains tersebut.
Pergulatan
juga terjadi di ranah
paradigma atau kerangka berpikir yang menghasilkan sains itu sendiri. Bila menengok dari sejarah bangsa Eropa
yang mengalami Revolusi Sains juga Revolusi Industri, maka akan berangkat dari zaman
Renaissans yang
berakar dari paradigma sekuler. Menurut Harvey Cox, bagian-bagian utama
dari dimensi sekularisasi mencakup; penghilangaan pesona dari alam tabi’i (disenchantment of nature), peniadaan
kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization
of politics), dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama
dari kehidupan (deconsecration of values). Yang ketiga dimensi ini membentuk
paradigma sains sekuler
sehingga menimbulkan Revolusi Cartesian. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
dalam bukunya Islam dan Sekularisme secara tepat menggambarkan: “Revolusi
Cartesian pada abad ke-17 menghasilkan dualisme final antara materi (benda)
dengan roh sehingga alam (tabii) dibiarkan terbuka untuk dikaji dan melayani
sains sekular, dan menempatkan manusia dalam tingkatan di mana tidak ada yang lain kecuali nasib
dunia bergantung padanya”.
Terjadilah
paradoks, dimana teknologi semakin maju, tetapi keadaan alam yang
tereksploitasi besar-besaran. Jika dianalisa dari film Steam Boy di atas, jelas
mereka menganggap bahwa alam harus tunduk pada sains dan diperbolehkan untuk
dieksploitasi semata-mata untuk hasrat keilmuan. Ini adalah salah satu bentuk
kesalahan dalam pemilihan pandangan terhadap
dunia
(world-view) sehingga mengacaukan
makna kosmos.
Sekilas
Tentang Sains Islam
Jika
ditilik dari aspek terminologinya, sulit untuk menyepadankan kata sains atau science (eng) dengan kata yang memiliki
ciri khas dalam Islam. Islam
sebagai sebuah dien memiliki
konsep ilmu yaitu al-‘Ilm. Kata
‘ilm tak bisa disepadankan dengan science
ataupun knowledge. Kata ‘ilm
memiliki makna yang begitu dalam, begitu tinggi, juga begitu luas, ketimbang
kata science ataupun knowledge yang menggambarkan ilmu dalam
Bahasa Inggris.
Kalau
kita melihat pandangan Jujun S. Suriasumantri mengenai persoalan definisi knowledge dan science, ia akan memberikan definisi yang berbeda dari keduanya. Knowledge, menurut pandangannya, adalah
pengetahuan yang bersifat generik, sedangkan science adalah bentuk pengetahuan yang spesifik yang mempunyai
objek ontologis, landasan epistemologis dan landasan aksiologis yang khas.
Dalam Bahasa Indonesia, Jujun memberikan alternatifnya bahwa kata knowledge berarti pengetahuan dan science yaitu ilmu pengetahuan.
Menurut
kamus Webster’s New World Dictionary,
kata science berasal dari kata latin, scire, yang artinya mengetahui. Secara bahasa, science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil
dalam arti pengetahuan (knowledge)
yang dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini kemudian mengalami
perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga berarti “pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang
dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip yang dikaji”. Dengan
demikian telah terjadi pergeseran makna sains dari “pengetahuan” menjadi
“pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi”. Tren ini kemudian mengarah pada
pembatasan lingkup sains hanya pada dunia fisik. Hal ini dapat dilihat kemudian
dari definisi lain yang diberikan oleh kamus tersebut pada science sebagai “pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia
fisik” (Kartanegara, 2003)
Sekarang
mari kita melihat penjelasan tentang ilmu pengetahuan dari ilmuwan muslim
kenamaan, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Menurut Prof. Wan Daud, yang merujuk
pada kamus Arabic-English Lexicon,
perkataan ‘ilm berasal dari kata ‘ain-lâm-mîm yang diambil dari kata ‘alâmah, yaitu ‘tanda, petunjuk, atau
indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label;
ciri-ciri; indikasi; tanda-tanda’. Disebabkan hal seperti inilah, sejak dahulu
umat Islam menganggap ‘ilm, ’ilmu pengetahuan’, berarti Al-Quran; syariat; sunnah;
Islam; iman; ilmu spiritual (‘ilm
al-ladunni), hikmah dan ma’rifah,
atau sering juga disebut cahaya (nûr);
pikiran (fikrah), sains (khususnya ‘ilm yang kata jamaknya ‘ulûm), dan pendidikan yang kesemuanya
menghimpun semua hakikat ilmu.
Di
ranah epistemologi, yang membahas tentang sumber-sumber ilmu serta cara
meraihnya, Sains Islam jelas berbeda dengan Sains Barat yang sekuler. Jika Sains Barat hanya mengakui
sumber-sumber ilmunya dari sesuatu yang bersifat empiri-rasionalistik saja (positivistik), berbeda halnya dengan
Sains Islam. Dalam Sains Islam, juga mengakui sumber ilmu yang berasal dari empiri-rasionalistik,
tetapi tidak serta merta menolak sumber pengetahuan yang bersifat metafisik,
bahkan menjadikan wahyu sebagai inspirasi tingkat pertama dalam hierarki sumber
ilmu. Sejak awal, tradisi ilmu dalam Islam bersifat ‘tauhidy´ yang artinya tidak sekuler, tidak mendikotomiskan antara unsur
dunia dan unsur akhirat; antara ilmu-ilmu
dunia dan ilmu akhirat. Sebagaimana tertera pada ayat Al-Quran yang pertama
kali turun, yaitu QS Al-Alaq ayat 1, “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. Semua itu bermuara pada
satu tujuan, yaitu untuk mengenal (ma’rifah)
kepada Allah
SWT dan mencintai ibadah kepadanya
(Husaini, 2003)
Singkatnya,
Adi Setia dalam jurnalnya Tiga Pengertian Sains Islam (2007) mencoba memberikan
pengertian dari Sains
Islam. Ia mendapati tiga pengertian yang banyak
dipakai dalam mendefinisikan ‘Sains Islam’. Pengertian pertama, Sains Islam sebagai disiplin ilmu yang mengkaji sejarah
perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban Islam serta kaitannya dengan
perkembangan sains dan teknologi di dunia Barat. Pengertian kedua adalah Sains Islam sebagai
disiplin ilmu dalam bidang Filsafat Sains dan Filsafat Islam yang merumuskan
konsep, filsafat, dan metodologi sains yang telah, sedang atau yang semestinya
memandu kegiatan sains dalam peradaban Islam.
Pengertian
ketiga adalah
Sains Islam sebagai disiplin ilmu yang mengkaji perumusan kembali Sains Islam
sebagai proyek penelitian (research
program) jangka panjang yang bersifat tajribi (experimental), ‘amali
(practical), dan inderawi (empirical) yang bertujuan melaksanakan
tata nilai ilmu dan tata nilai adab Islami dalam semua kegiatan sains dan
teknologi masa kini. Dalam artian,
seorang saintis memberikan usaha sungguh-sungguh dan bercita-cita tinggi lagi sejagat sifat
kesarjanaannya untuk memadukan secara kritis semua kegiatan sains dalam
kerangka worldview Islam, serta
berupaya menjelaskan implikasi epistemologis, metodologis, dan aksiologis yang
bakal terhasil dari proses pemaduan kritis tersebut terhadap praktik sains
kontemporer.
Pengertian
ketiga tersebut, Masih menurut Adi Setia,
menjadikan Sains Islam sebagai suatu kerangka atau paradigma baru, dan
metodologi penelitian baru, bagi semua kegiatan sains masa kini demi
terbentuknya sains dan teknologi yang menzahirkan ‘Pandangan Islam’ (Islamic Worldview) di dunia nyata, baik
di dalam penerapan sains dan teknologi semasa, khususnya, maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Gagasan Sains Islam boleh dirumuskan sebagai “agenda
penelitian ‘aqli
dan tajribi (intellectual and
experimental research program) mengenai pelbagai aspek kejadian alam tabi’i (natural world), dengan tujuan mengasah keyakinan kita terhadap
kekuasaan dan kebijaksanaan Sang Pencipta”. Pengertian
ini lebih menitikberatkan sifat keilmiahan atau sifat kognitif sains daripada
sifat kebergunaan (utility) atau
instumentalitasnya.
Adi melanjutkan, hal itu karena tujuan
akhir sains dalam Islam ialah ‘ilmu yaqini tentang kebenaran
mutlak, tentang hakikat tertinggi, tentang aspek nomena di sebalik
fenomena, tentang makna diri insan dan makna diri alam, tentang
kesyukuran dan pengabdian diri kepada Pencipta, yang semuanya itu merupakan
aspek-aspek kemakrifatan akan hakikat tertinggi sekadar yang mampu dicapai
insan. Adapun aspek kebergunaan/instrumentalitas sains sebagai teknologi dalam
membangun kemakmuran hidup di dunia yang fana ini, maka itu hanya merupakan
sifat pengantara (wasilah) demi mencapai tujuan yang lebih mendasar dan luhur
demi karena firman Allah “wa
al-âkhiratu khayrun wa abqâ,”(QS 87:17), yang artinya “dan sesungguhnya
alam Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal,” dan demi karena tugas insan di
dunia dana ini ialah menzahirkan kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Tinggi dalam
pemikiran, pertuturan, dan pengalaman.
Menimbang Teknologi Berkelanjutan
Di
Eropa, dimana Revolusi Sains dan Revolusi Industri terjadi, pada awalnya sains
dan teknologi bukanlah satu, melainkan memiliki jalan masing-masing yang
berbeda dan independen. Teknologi, telah berkembang tanpa suatu input ilmiah. Hingga dekade
pertengahan abad ke-19 di mana
industri tekstil yang berorientasi
pada kimia, mengharuskan interaksi antara sains dan teknologi, barulah
betul-betul tercipta teknologi berbasis sains, yang kemudian menjadi faktor
penting dalam mengubah masyarakat modern secara drastis.
Menurut
Cemil Akdogan, sains
menjadi mudah disepelekan dan dilupakan karena ia merupakan usaha keras yang
abstrak dan tak tampak. Kita
harus sadar bahwa sains bukanlah teknologi. Sains berkenaan dengan
gagasan-gagasan dalam bentuknya yang abstrak, sementara teknologi bertujuan
memproduksi benda-benda (alat, mesin, dan sebagainya) yang dapat digunakan
untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan kata lain,
teknologi merupakan aplikasi sains, dan tanpa pemahaman dan penguasaan landasan
ilmiah, sekadar memproduksi piranti-piranti teknologi melalui imitasi adalah
sangat berisiko.
Jika
kembali meninjau pada subjudul sebelumnya, di mana
tujuan akhir sains dalam Islam ialah ilmu
yaqini tentang aspek kemakrifatan akan hakikat tertinggi sekadar yang mampu
dicapai insan. Sedangkan
teknologi merupakan aspek kebergunaan/instrumentalitas sains dalam membangun
kemakmuran hidup di dunia yang fana, maka teknologi merupakan wasilah untuk mencapai tujuan sains
dalam Islam yang luhur tersebut.
Cukup
sulit bagi penulis untuk memberikan keterkaitan antara Sains Islam dengan
Teknologi Berkelanjutan. Seperti kita ketahui, Teknologi Berkelanjutan merupakan
turunan daripada Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development) yang terdiri dari tiga tiang utama yaitu ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Namun sayang, teknologi berkelanjutan ini makin hari makin hilang
arah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa teknologi
merupakan bentuk aplikasi dari sains, maka ia menghasilkan produk.
Produk-produk yang dihasilkan oleh gagasan ‘Teknologi Berkelanjutan’
seperti misalnya, penyejuk udara hemat energi, justru tidaklah
membawa gagasan keberkelanjutannya.
Pembangunan
Berkelanjutan ini, baik disadari maupun tidak, didasari
oleh sifat konsumtif yang tanpa melalui nalar kritis. Produk seperti penyejuk udara hemat energi
ini tidak menyelesaikan masalah secara holistik. Produk tersebut malah
menumpulkan sisi kreatifitas bagi seorang arsitek, misalnya, dengan mudah
menggunakan penyejuk ruangan tanpa lagi perlu pusing memikirkan sirkulasi udara
yang tepat dalam sebuah bangunan. Lebih jauh lagi, hal ini tidak memberikan
dampak bagi membaiknya suhu bumi, hanya memperlambat. Atau misalkan pada
gagasan bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor. Ketika
penggunaannya tidak didasari oleh nalar kritis yang mendampingi sifat
konsumsinya, maka yang terjadi adalah perulangan masalah sebagaimana
sebelumnya. Bahan bakar alternatif akan terus diproduksi demi memenuhi
kebutuhan yang kian hari kian bertambah tak terkontrol.
Bila
kita memahaminya secara perlahan, yang terjadi adalah bukan gagalnya gagasan
Pembangunan Berkelanjutan atau Teknologi Berkelanjutan tersebut. Tetapi kegagalan kita dalam mendiagnosa penyakit.
Kerusakan Bumi tidak sepenuhnya disebabkan oleh produk-produk dari teknologi
yang sudah ada, melainkan oleh gagasan yang tercipta dari sains yang salah
menggunakan worldview. Sains Barat
menganggap bahwa alam (nature)
bertugas melayani manusia yang berada di posisi piramida tertinggi
(antroposentris), sehingga perilaku eksploitasi alam pun dibenarkan. Gagasan
yang terdapat pada Sains Barat inilah yang berujung pada kesalahan penggunaan
teknologi yang menimbulkan paradoks kehancuran.
Dalam bentuk aplikatifnya, teknologi yang dihasilkan dari
Sains Islam tentu bersifat berkelanjutan (sustainable).
Dan walaupun diiringi oleh sifat konsumtif namun ia didampingi oleh nalar
kritis serta kepemahaman mengenai posisi dirinya dengan alam semesta yang
terikat oleh kewajiban sebagai khalifatullah
di muka bumi. Ia harus berangkat dari keadaan kebutuhan, kebutuhan akan aspek
kemakrifatan hakikat tertinggi. Ketika Allah SWT sebagai khalik mengutus
manusia sebagai khalifatullah (wakil-Nya) di Bumi, maka sifat Allah Yang
Maha Menjaga haruslah diresapi oleh setiap manusia, agar dapat menjaga sesama
makhluk yang mengisi semesta raya, termasuk bumi itu sendiri (yang juga merupakan
makhluk). Bukannya malah mengeksploitasinya dengan pandangan bahwa manusia
adalah puncak piramida kosmos yang berarti menafikkan Tuhan.
Bukan
berarti setelah penggunaan Sains Islam dalam memproduksi teknologi akan
memunculkan produk “Islami” semacam AC Islami, Pesawat Islami, dsb.
Yang ada adalah diterapkannya teknologi, baik yang sudah ada atau yang akan
ada, setelah melalui proses pemilahan, kepada kebutuhan sebagaimana terbentuk
dari Islamic Worldview. Teknologi
tepat-guna yang merupakan bentuk aplikasi dari Sains Islam yang didasari dari Islamic Worldview, inilah yang kita
butuhkan. Teknologi akan sejalan dengan konsep Islam yang rahmatan lil
‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Yang kemudian, Teknologi tepat-guna ini
akan menciptakan keharmonisan antara manusia dengan alam, yang berarti
keberimanan kepada Tuhannya.
Untuk
menutup tulisan yang cukup panjang ini, saya ingin menegaskan, bahwa sains
haruslah berangkat dari pandangan dunia Islam (Islamic Worldview), sehingga terhindar dari kerusakan yang semakin
jelas terlihat seperti yang diakibatkan oleh penggunaan pandangan dunia Barat.
Dan dengan usaha yang terjaga,
akan meniscayakan lahirnya teknologi tepat-guna demi tercapainya tujuan manusia
yang hakiki, mengenal Khaliknya.
Jadi,
sudah tepatkah penggunaan jargon
Teknologi Berkelanjutan yang ternyata selama ini kita
gunakan sebagai pembenaran atas sifat konsumtif kita yang berlebihan? Menjadi
pembenaran dari Hedonsitik Keberlanjutan ? Atau kita harus kembali memperbaiki gagasan dibalik
jargon Teknologi Berkelanjutan tersebut? Maka, kembali kepada Islam sebagai dien, yang mengawal seluruh aspek
kehidupan kita agar selamat dunia akhirat adalah jawaban terbaik. Semoga kita
semua ditunjukan-Nya jalan yang lurus. Aamiin.
Yahya Wido Aditama
Surakarta, 27 Rajab 1437 Hijriah (04 Mei 2016 Masehi).
Diperbaiki 22 mei 2016, untuk rubrik Artikel Pendukung Majalah KONTUR Edisi Juni 2016.