Dunia
sedang dilanda oleh kepanikan global berkenaan dengan pewabahan virus Covid-19.
Indonesia pun tak luput dari persebaran masif virus yang juga biasa disebut
dengan nama virus Corona ini. Pandemik yang melanda dalam waktu cukup panjang
ini membuat struktur yang menopang kehidupan sehari-hari menjadi tidak stabil. Kehidupan
sosial dan ibadah dibatasi, perekonomian mandeg, PHK besar-besaran, jutaan
keluarga masuk dalam kondisi kritis. Namun, di masa pewabahan ini muncul
kalangan masyarakat yang lenyap rasa kemanusiaannya, terkikis bahkan hilang
lapisan moral dan spiritualnya. Mereka adalah Masyarakat Skizofrenik.
***
Gerai McD
Sarinah, yang pada penutupan permanennya (10/05), menghadirkan fenomena
berkumpulnya orang-orang pada masa PSBB. Bagi orang-orang yang berkumpul itu,
gerai McD Sarinah menjadi tempat mereka membangun dan merealisasikan citra
dirinya (self image), tempat mereka
merumuskan gaya hidupnya (life style),
tempat orang-orang itu mencari identitasnya.
Sebagai
sebuah gerai makanan cepat saji, McD Sarinah pada masa hidupnya tidak hanya
sekadar berfungsi sebagai arena transaksi jual-beli makanan cepat saji semata,
tetapi juga menjadi tempat orang-orang mencari nilai, merumuskan eksistensi
diri; menjadi tempat perayaan (ulang tahun, tahun baru); menjadi tempat
pertapaan (mencari ketenangan dan menghilangkan stress); tempat terapi jiwa
(mencari kesenangan, kegairahan, dan kegembiraan); bahkan menjadi tempat untuk
mencari makna hidup.
Masyarakat
pelanggan gerai McD Sarinah menautkan citra diri (self image)nya dengan budaya konsumerisme. Bersamaan dengan citra
diri (brand image) yang telah
dibangun McD, orang-orang pelanggan McD tersebut mengkonsumsi produk dari McD
tidak sekadar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya saja, tetapi juga
mengkomunikasikan, merepresentasikan, menandai, dan mengirim pesan tertentu.
Orang-orang itu datang ke gerai, memesan seporsi ayam goreng, lengkap dengan
kentang, burger, dan minuman cola untuk menandai kekayaan dan status
sosialnya. Menciptakan simbol, status sosial, dan prestise tertentu; sekaligus
terperangkap dalam system tersebut.
Pada hari
penutupannya, para pelanggan McD Sarinah itu berkumpul untuk mengenang dan
menangisinya, seolah-olah gerai makanan cepat saji tersebut seperti sebuah
tempat suci, sebuah altar, sebuah Ka’bah di tengah Sarinah. Sekaligus, untuk
menyatakan diri bahwa mereka bagian dari kelas sosial tertentu yang diikat oleh
simbol, status sosial, dan citraan yang hanya khusus mereka miliki. Tentu
penutupan McD Sarinah tidak bermakna bagi mereka yang tidak tinggal di Jakarta,
dan tidak dapat mengakses “kemewahan” di dalam gerai tersebut.
***
Pun
begitu dengan fenomena hadirnya biskuit Oreo Supreme, baru-baru ini. Sebuah
biskuit dengan lapisan selai di tengahnya, dengan ukuran pada umumnya dan rasa
manis yang tidak jauh beda dengan biskuit lainnya. Namun, yang membuatnya sedikit
berbeda adalah disematkannya logo dagang Supreme
di tengah biskuit tersebut, yang menjadikan harganya mencapai Rp 600.000
perbungkus (isi 3 buah biskuit). Dimakan begitu saja, atau sebagai campuran dan
hiasan pada suatu menu olahan untuk berbuka puasa, atau ditambah susu untuk
santap sahur di bulan Ramadhan ini!
Fenomena
di atas adalah sebuah fenomena konsumsi dan estetika yang telah masuk pada fase
ektasinya, sebuah fase di mana konsumsi dan estetika telah mencapai titik
ekstremnya sehingga kehilangan makna dan nilai-nilai moral. Menghasilkan sebuah
komoditi ilusi, yakni komoditi yang tidak lagi berfungsi sekadar objek
utilitasnya, akan tetapi menjadi ajang permainan semiotika, status, prestise,
dan sensualitas komunikasi pemasaran.
Orang-orang
yang membeli dan mengkonsumsinya bukan lagi fungsi utilitasnya (hey! mereka
bisa mendapatkan rasa manis dan gurih yang sama dengan membeli biskuit dari
jenis serupa tanpa embel-embel Supreme
dengan harga dua ribu rupiah!), tetapi mereka membeli dan mengkonsumsi citraan,
simbol, status, dan gaya hidup yang telah disematkan kepada komoditas tersebut.
***
Maka,
orang-orang yang berkumpul di depan gerai McD Sarinah pada masa PSBB, dan
mereka yang membeli Oreo Supreme (apalagi menyantapnya saat Sahur!) adalah
masyarakat skizofrenik. Disebutkan oleh Yasraf (2004), masyarakat skizofrenik
atau society of schizophrenic adalah
sebuah kalangan masyarakat yang di dalamnya hasrat dibebaskan dari berbagai
benteng penghalangnya, lewat berbagai kesenangan dan kepuasan yang disediakan
di dalam benda-benda konsumsi. Benda-benda konsumsi dikonstruksi oleh
kapitalisme menjadi sarana pelepasan berbagai keinginan (want) dan kepuasan (jouissance),
yang tidak menginginkan pembatasan.
Konsumerisme
yang menjadi landasan dari masyarakat skizofrenik menginginkan sebuah ruang
tempat hasrat mengalir ke segala arah tanpa ada pengendalian (sosial, agama,
moral). Di dalam wacana konsumerisme, hidup dan hasrat dibiarkan mengalir
secara bebas di dalam sebuah wacana permainan bebas tanda, makna diri, dan
identitas, sebagai refleksi dari model kehidupan imanen dan permukaan, sehingga
menjauhkan mereka dari fondasi-fondasi yang bersifat transenden atau ketuhanan.
Dunia
konsumerisme melepas segala hasrat, mengumbar setiap citra, memamerkan setiap
tanda, meggelar setiap makna, akan tetapi menetralisir maknanya yang lebih
tinggi, yang berkaitan dengan nafs
ketuhanan.
Masyarakat
skizofrenia menciptakan sebuah kondisi “ketidakmungkinan identitas”, di mana
“identitas” hanya mungkin ada ketika sebuah prinsip dasar (keyakinan, ideology,
ras) yang secara konsisten dipertahankan secara berkelanjutan oleh
seorang individu atau sebuah masyarakat. Sementara perilaku skizofrenia
bertindak sebaliknya, ia melihat bahwa prinsip dasar tersebut dapat berubah, berpindah,
dan bermutasi. Skizofrenia menerima segala bentuk identitas, diri, keyakinan,
dan ideologi, meskipun satu sama lainnya saling bertentangan, selama semuanya
dapat digiring ke dalam sebuah medan permainan.
Masyarakat
skizofrenik mencapur adukkan dua hal bertentangan, misalnya, seorang warga kota
yang nasionalis-pancasilais karena memberikan devisa yang besar kepada negara di
satu waktu, tetapi melanggar tata tertib PSBB yang telah diatur oleh negara dengan
cara berkumpul pada acara penutupan gerai makanan cepat saji di waktu yang lain.
Atau santap sahur untuk menunaikan ibadah puasa agar menjadi pribadi yang saleh
di satu sisi, namun di sisi lain tidak ingin menyempurnakan kesalehannya karena
sahurnya sambil menyantap dua bungkus Oreo Supreme setara harga 10 paket
sembako untuk keluarga yang sedang sangat membutuhkan di masa pandemik ini.
Masyarakat skizofrenik tidak melihat kedua hal yang kontradiktif tersebut
sebagai sesuatu yang perlu dipertentangkan. Ia melihat kontradiksi dengan
pandangan acuh tak acuh.
Pandemik
Covid-19, di Indonesia hingga saat ini, telah menelan korban meninggal sebanyak
1000 lebih jiwa. Namun selain itu, masa pewabahan ini juga telah memunculkan
orang-orang yang hidup fisiknya, tetapi mati moralnya, hilang rasa
kemanusiaanya, dan terkikis lapisan spiritualnya. Mereka itu ialah masyarakat
skizofrenia.
Yahya Wido Aditama
Bekasi, 24 Ramadhan 1441 Hijriah (16 Mei 2020 Era Bersama)
Yahya Wido Aditama
Bekasi, 24 Ramadhan 1441 Hijriah (16 Mei 2020 Era Bersama)
0 comments:
Post a Comment