Beberapa hari yang lalu sempat kita disuguhi
kembali oleh ramainya pemberitaan mengenai persidangan lanjutan kasus
pembunuhan Mirna dengan tersangka Jesicca Wongso. Sidang lanjutan yang diadakan
pada hari Senin (15/8) lalu ini menyedot perhatian banyak media pemberitaan
nasional yang lalu menjadikannya topik utama. Bahkan, beberapa TV nasional
menyiarkan jalannya persidangan tersebut secara live. Saya dapati, setidaknya terdapat dua TV Nasional yang menyiarkan
jalannya sidang lanjutan tersebut secara penuh dan live, sedangkan TV Nasional lainnya menyiarkan pada acara berita
selingan yang rutin disiarkan setiap satu jam sekali atau pada acara berita
lainnya. Pun begitu yang terjadi pada situs-situs berita yang berbasis di
internet yang pada hari itu ramai-ramai menaikkan berita tersebut sebagai topik
utama.
Kasus pembunuhan Mirna menjadi kasus pebunuhan
terheboh dan paling menyita perhatian publik tahun di tahun 2016 ini. Hingga
sidangnya yang keduabelas senin kemarin, kasus pembunuhan ini sudah
berkali-kali menjadi topik utama di berbagai media pemberitaan. Tidak hanya
berita-berita utama investigasi pembunuhannya, berita-berita turunan yang
relevansi dengan investigasi pembunuhan tidak terlalu kuat pun banyak diangkat
oleh situs-situs media pemberitaan online.
Pemberitaan terdakwa di media online |
Boomingnya kasus pembunuhan ini, tentu membuat kita
bertanya-tanya, ada kepentingan apa masyarakat luas disuguhi dengan pemberitaan
kasus tersebut secara terus menerus ? Apakah akan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat ? Seberapa pentingkah kasus ini hingga bahkan menenggelamkan
kontroversi Bom Sarinah atau kasus sindikat narkoba yang dibeberkan oleh Freddy Budiman yang menyeret
institusi/lembaga tinggi negara ? Mengapa ia dijadikan isu publik ? Akankah
negara kolaps bila dalang di balik kasus ini tidak diketahui oleh publik secara
luas ? Bisakah Indonesia kembali menjadi ‘macan asia’ bila masyarakatnya telah
mengetahui seluk beluk kasus pembunuhan tersebut ?
Dalam era Informasi seperti saat ini kita
disuguhi, yang oleh Al Gore disebut sebagai, jalan raya informasi (Information Superhighway atau Infobahn). Teknologi informasi, yang
telah meningkat begitu pesat setelah hadirnya televisi juga internet,
memberikan kita kemudahan dalam mendapatkan berbagai informasi sehari-hari.
Mulai dari pemberitaan lahirnya seekor anak Badak Bercula Satu di Taman Safari,
hingga kasus korupsi berjumlah miliaran rupiah oleh anggota dewan pun dengan mudah kita
dapatkan. Jalan raya informasi menyuguhkan keberlimpahan informasi.
Keberlimpahan informasi di abad 21 ini, yang oleh Yasraf Amir Piliang diasosiasikan dengan
kejadian banjir bandang pada zaman Nabi Nuh, yang kemudian ia sebut sebagai banjir bandang informasi.
Jalan raya informasi menyuguhkan kita kepada
informasi dalam kecepatan tinggi yang terjadi secara simultan. Timbul-tenggelam
di jagat raya informasi. Jibunan informasi hadir kepada kita tanpa adanya
filtrasi. Ia hadir dari segala arah yang memaksa kita untuk ‘mengkonsumsi’
tanpa tahu kegunaannya. Walau telah hadir teknologi cookie yang memungkinkan perangkat pintar kita memilah berita untuk
ditampilkan berdasarkan jejak pencarian yang kita lakukan di internet, tapi hal
itu tetap saja sebuah bentuk desakkan informasi kepada diri.
Paul Virilio yang menggagas Dromology menyatakan bahwa segala
kecepatan yang sedang kita ‘nikmati’ ini mengubah realitas dan cara kita
menanggapinya. Kini, yang terjadi adalah kecepatan informasi tidak sebanding
dengan kemampuan manusia dalam menyerapnya. Informasi itu datang begitu cepat
dan begitu raksasa, sehingga kadang
terlalu cepat dan besar untuk dapat diserap oleh pikiran manusia. Dalam bom informasi seperti itu, tidak semua
informasi yang datang tersebut dapat berguna untuk meningkatkan kualitas
kehidupan kita. Apa gunanya informasi tentang persidangan Jesicca Wongso
terhadap seorang petani di Temanggung yang serbuan informasinya menyeruak
melalui layar televisi di ruang tamu rumahnya? Apakah dengan terbongkarnya
kasus pembunuhan Mirna akan menghindarkan petani itu dari gagal panen akibat
kekeringan atau hama wereng ?. Bill
McKibben mengatakan kita sedang berada di “sebuah abad informasi yang
melenceng”.
Dalam gencarnya pemberitaan kasus persidangan
Jesicca tersebut, tanpa didampingi usaha mengkritisi diri, yang berlangsung
sesungguhnya bukanlah peningkatan informasi melainkan misinformasi dan
disinformasi. Zygmunt Baumen berpendapat bahwa “masalah kondisi kontemporer
adalah bahwa masyarakat telah berhenti mempertanyakan dirinya sendiri”. Kita
tidak lagi pernah mempertanyakan diri sendiri tentang informasi apa yang
dibutuhkan. Publik cenderung pasif ketika berhadapan dengan serbuan informasi,
namun menjadi reaktif ketika telah menerima informasi tersebut sehingga
menghasilkan turunan-turunan berita yang dapat dijadikan bahan obrolan ringan
(baca: gosip) dengan teman seperkumpulan.
Kasus pembunuhan Mirna ini sepertinya memiliki
potensi untuk ‘digosipkan’. Sebagaimana yang ditulis oleh Richard Shears,
jurnalis di Daily Mail Australia, kasus pembunuhan ini mirip cerita dalam novel
detektif karya Agatha Christie. Ada kecocokan dengan tipikal penonton televisi
Indonesia yang menyukai opera sabun dengan bukti begitu menjamur di
pertelevisian Indonesia. Maka tak heran bila beritanya dijadikan isu publik, karena kasus tersebut mengandung unsur drama ala sinetron.
Tentu saja ada motif bisnis (selain motif
politik, tentunya) yang melatarbelakangi naiknya sebuah isu di media-media
mainstream. Media pasti berkilah bahwa inilah yang sedang ramai diperbincangkan
masyarakat sehingga perlu untuk diangkat menjadi topik utama/isu publik.
Padahal ada motif mengejar rating
dibelakangnya. Sejatinya, sebagaimana Kang Azeza dalam dalam tulisannya “Selera Penonton Televisi: Membentuk atau Dibentuk”, tidak ada yang salah dari konsep
bisnis media itu sendiri, tapi masalah muncul ketika televisi sebagai media
yang bersentuhan langsung dengan public
domain mengabaikkan tanggung jawabnya dan lebih terfokus pada semangat
kapitalisme.
Dalam banjir bandang informasi seperti saat
ini, dan dampaknya yang menghasilkan gejolak-gejolak itu, kemudian timbul
pertanyaan ontologis. Apakah informasi itu digunakan manusia, atau malah
informasi yang 'menggunakan manusia' ? Apakah informasi dikendalikan manusia,
atau malah informasi itu yang 'mengendalikan' manusia ? Apakah informasi itu
ada untuk manusia, atau malah manusia 'ada' untuk informasi ?
"...Djanganlah pada sangkamu akan kahidupan negeri-negeri jang besar lebeh baik deripada perdijaman dinegeri ketjil. Benarlah kehidupan negeri-negeri besar itu ramei, lebih sedap, tetapi djanganlah bersangka kahidupan itu senang, seperti kami dapat merasa dinegeri ketjil, karena dalam negeri besar itu lakunja orang hidup disitu saolah-olah menghambat saorang akan saorang tidak dapat kasenangan dan perhentijan dan tempoh pada pertimbang-menimbang akan perkata fikiran jang ditinggi. “ – Surat Kabar Thahaja Sijang No. 3 Maret 1899
Yahya Aditama
Surakarta, 18 Dzulkaidah 1437 H (21 Agustus 2016 M)
0 comments:
Post a Comment