"Created by the poor, stolen by the rich". Mungkin adagium tersebut benar adanya bila kita letakan pada sepak bola yang telah terindustrialisasi melalui kapitalisme.
Bagaimana tidak, industri sepak bola modern,
khususnya di Eropa, mampu mengkapitalisasi perekonomian dengan cara yang
kolosal. Juta miliar dollar berputar setiap tahunnya dalam industri tersebut.
Lihat saja gaji fantastis para pemainnya, belum lagi transfer saga yang acap
kali membuat kening berkerenyit saat membaca nilainya.
Industri sepak bola berjalan melalui kapitalisme yang bersifat eksploitatif. Fan, penggemar, penonton, penikmat sepak bola,
atau apapun sebutannya akan selalu menjadi objek eksploitasi. Beragam model
eksploitasinya.
Begitupun dengan pemain bola, seberapapun
besar gajinya, seberapapun sulit cara pandang kita menemukannya, mereka tetap
menjadi objek eksploitasi dari industri sepak bola.
Siapa yang melakukan eksploitasi? mereka
yang pandai (sekaligus pandir) dalam mengakumulasikan modal, mereka yang pandai
mengembangkan taktik dan strategi dalam perekonomian industri sepak bola.
Pemilik klub, regulator pertandingan, dan operator pertandingan. setidaknya
tiga tersebutlah yang bisa kita tunjuk hidungnya , menjadi biang keladi dari
eksploitasi dalam sepak bola.
Sepak bola modern, pada satu sisi, telah
membawa efektifitas dan efisiensi yang positif dalam teknik dan strategi
permainan sepak bola. Namun pada sisi lainnya, modernisasi sepak bola juga
membawa serta "pembukuan yang rasional" dalam setiap aspek ekonomi
sepak bola, ianya harus dapat mengakumulasikan modal bagi para pemilik. Sepak bola lebih cocok disebut sebagai persaingan bisnis ketimbang sebuah olah raga.
Dalam bentuk sepak bola yang telah terkorporatisasi sedemikian rupa, Mino Raiola,
seorang agen pesepakbola, melakukan perlawanan. Ia dengan caranya sendiri
menjadi musuh bagi para pemilik klub, bahkan juga regulator dan operator
pertandingan secara bersamaan. Raiola sangat tau kapan harus memindahkan
kliennya ke klub yang tepat. Ia menjamin kesuksesan kliennya pada masa tua,
mengingat umur produktif pemain bola yang cukup singkat sehingga kesetiaan yang
dituntut oleh klub kepada pemain tak diindahkannya.
"Kesetiaan pada klub adalah omong
kosong", cemooh Raiola. "Para pemain dituntut untuk selalu setia pada
klub. Apakah loyalitas dapat menjamin kesejahteraan para pemain? Mengapa klub
juga tidak ditagih loyalitasnya? mengapa manajemen klub dengan gampang tidak
loyal kepada pemain ketika yang bersangkutan sudah meredup atau mengalami
cedera yang panjang" tukas Raiola.
"Klub memperlakukan pemain seperti
sarung tangan. Jika ia tidak menyukainya, ia akan mencari sarung tangan lain...
Real Madrid adalah salah satu klub yang membeli pemain seperti mencuci baju
kemudian membuangnya ke tempat sampah" ucap Raiola kepada Le Equipe. "Maka
saya akan memperjuangkan nasib para klien saya agar masa tuanya lebih baik.
Saya keras terhadap gaya hidup klien saya. Saya menuntut para pemain untuk
tampil dalam versi terbaiknya, namun tidak begitu jika terkait loyalitas"
lanjut Raiola.
Carmine "Mino" Raiola, begitu
nama kecilnya, pernah begitu dibenci oleh seluruh fan AC Milan ketika
memuluskan penjualan Gianluigi Donarumma ke PSG. Dirinya dicap tamak dan mata
duitan, dan Donnarumma dijuluki Dollarumma oleh pendukung AC Milan.
Begitupun pada isu yang saat ini sedang
hangat, terkait masa depan salah satu striker andalan Borussia Dortmun, Erling Haaland.
Sebagai salah satu klien Raiola, Haaland yang sedang moncer musim ini dituntut
oleh klub untuk segera menandatangani perpanjangan kontraknya, sementara nilai
kesepakatan terlalu kecil menurut Raiola. Kemudian Raiola melakukan komunikasi
dengan Barcelona, Real Madrid, serta Man City demi masa depan yang lebih menjanjikan bagi kliennya
tersebut.
Otomatis langkahnya tersebut membuat
dirinya dicemooh oleh manajemen klub. Dibenci oleh para pelatih. Dihujat oleh
para fan. Padahal pada sudut pandang lain, Raiola sedang mengangkangi industri
sepak bola.
Para pemain hanya memiliki masa
kegemilangan yang singkat, dengan persaingan yang ketat. Melakukan kesalahan
satu dua kali saja, sudah dapat membuat para pemain hidup dalam makian dan
kutukan. Siapa yang akan membela hak-hak pemain seperti itu? tidak ada. Raiola
mengambil peran untuk membela hak-hak kliennya.
Raiola pun pernah berkomentar pedas
teehadap FIFA dan UEFA. Federasi yang menaungi olah raga sepak bola itu disebut
oleh Raiola sebagai organisasi dengan sistem yang sangat korup, diisi oleh
orang-orang yang keluar masuk penjara. Mereka tidak peduli kepada para pemain.
Mino Raiola persis seperti serikat buruh
yang melakukan aktivitas pembelaan hak-hak buruh ketika mereka tidak diupah
dengan layak. Persis sama, bahkan terhadap iuran wajib yg dibebankan pada para
buruh (yang sering kali memberatkan) utk biaya advokasinya, Raiola juga
tentunya menaruh tarif untuk setiap kesepakatan yang berhasil dari kliennya.
Kita mungkin dapat berdiskusi lebih panjang
lagi tentang apakah cara yang digunakan oleh Raiola itu benar atau salah.
Bahkan mungkin sebagian dari kita memandang miring Raiola sebagai orang yang
tamak dan rakus. Tetapi saya rasa kita dapat sama-sama setuju bahwa Mino Raiola
sedikit banyak mampu menunjukan sepak bola sedang tidak baik-baik saja. Agen
seperti Raiola-lah yang hadir bersama pemain. menjadi satu-satunya pembela para
pesepak bola melawan industri Sepak Bola, yaitu klub dan federasi sepak bola
yang korup.
Ditulis oleh Yahya Aditama.
Bekasi, 25 Januari 2022