Akhir-akhir
ini, di negeri kita tercinta, sedang ramai-ramainya pemberitaan mengenai berbagai
permasalahan agraria. Lihat saja kasus reklamasi teluk Jakarta yang tiada
hentinya diberitakan, mulai dari permasalahan perizinan tentang reklamasi yang
masih simpang siur, hingga pembahasan mengenai dampak yang ditimbulkan kepada
sektor sosial-ekonomi-budaya. Begitu pula yang terjadi pada kasus reklamasi Tanjung
Benoa di Bali, Semen vs Samin di Blora, tambang pasir di Kulonprogo, dan yang
cukup memilukan adalah kasus tambang pasir di Lumajang yang akhirnya memakan
korban. Dan juga permasalahan tentang maraknya pertumbuhan Mall, Apartemen,
Hotel yang mulai merambah, tidak hanya di kota-kota besar yang industrialis,
tetapi juga di kota-kota transit yang agraris yang kerap kali menimbulkan
gesekan sosial. Jumlah laporan yang diterima oleh Serikat Petani Indonesia
(SPI) tentang konflik agrarian pada tahun 2015 sebanyak 231 kasus, di lain
kesempatan, WALHI juga memaparkan bahwa konflik agrarian terus meningkat setiap
tahunnya.
Dalam kasus-kasus di atas, biasanya
yang dipertentangkan adalah antara para kapital pemilik modal besar dengan
masyarakat kecil yang berprofesi sebagai petani atau nelayan. Para pemilik
modal besar yang bermain di sektor agraria, tidak hanya dimainkan oleh swasta,
tetapi banyak juga oknum-oknum pejabat pemerintahan yang juga turut ikut
bermain. Yang satu menggunakan kekuatan modal besarnya, yang satu lagi
memanfaatkan kekuasaan yang dipegangnya untuk memuluskan aksi ‘perampasan’
tanah ini. Dan yang tertindas, tentulah mereka rakyat kecil, yang tak memiliki
modal besar, apalagi kekuasaan.
Kita harus memahami, bahwa
permasalahan di atas timbul akibat dari deislamisasi. Deislamisasi, menurut
Prof Al-Attas, adalah penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat
Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka.
Adalah pandangan-alam (worldview)
Barat yang merasuk ke dalam fikiran umat Islam khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Pandangan-alam Barat tersebut tentunya turut membawa asas
pemikirannya yang berupa konsep-konsep sekular. Pandangan-alam Barat adalah sebuah
pandangan-alam yang membawa pada kehancuran, karena sesungguhnya ia melawan fitrah
dari kehidupan itu sendiri. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof Al-Attas,
bagian-bagian utama dari dimensi sekularisasi mencakup; penghilangaan pesona
dari alam tabii’ (disenchantment of
nature), peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization of politics), dan
penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconsecration of values).
Penghilangan pesona dari alam
tabii’, lanjut Prof Al-Attas, adalah pembebasan alam tabii’ dari unsur tambahan
keagamaan. Ia adalah asas dari dimensi-dimensi sekularisasi. Di dalamnya
termasuk penghapusan makna-makna rohani (spiritual), dan penolakan terhadap
yang meta-fisik, memisahkan dari Tuhan dan membedakan manusia dari alam
tersebut. Dengan demikian manusia tidak lagi menganggap alam sebagai sesuatu
kejadian yang kudus, memanfaatkan alam seluas-luasnya. Penghilangan pesona dari
alam tabii’ telah menurunkan alam hanya menjadi objek yang memiliki kepentingan
dan nilai kebergunaan semata-mata untuk pengelolaan sains dan teknikal untuk
kepentingan manusia. Dengan pandangan yang menghilangkan pesona dari alam
tabii’ maka akan menghasilkan pemahaman sebagaimana Francis Bacon utarakan,
bahwa manusia sebagai primasi semesta, semesta tidak lain adalah benda mati dan
harus tunduk untuk melayani kepentingan manusia. Terjadilah ekspoitasi alam
besar-besaran, pertambangan pasir yang tak berwawasan lingkungan, juga
aktivitas reklamasi yang semena-mena.
Peniadaan kesucian dan kewibawaan
agama dari politik yang dimaksudkan oleh paham sekular adalah menghapuskan
pengesahan agama pada kekuasaan dan otoritas politik, yang merupakan syarat
utama bagi perubahan politik, dan juga berikutnya menghendaki perubahan sosial
yang memungkinkan pergerakan sejarah. Peniadaan kesucian dan kewibawaan agama
dari politik mengakibatkan kesewenang-wenangan dalam penggunaan kekuasaan dan
otoritas politik sehingga terjadi kedzaliman dalam pembuatan peraturan mengenai
agrarian. Mereka yang sedang memegang kekuasaan dan otoritas politik, yang
berpaham sekular, tentu tidak akan mendasarkan kewenangannya (authority) pada Tuhan, melainkan kepada
pasar yang tak lain adalah pemilik modal besar. Izin menggarap tanah diberikan
semudah mungkin, tanpa melalui kajian aktifitas yang dilakukan oleh pengelola
lahan tersebut, yang seringkali melanggar peraturan berwawasan lingkungan.
Ketidak-adilan lagi-lagi harus diterima rakyat kecil
https://putarbumi.files.wordpress.com/2012/01/stop_perampasan_tanah.jpg |
penghapusan kesucian dan
kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan, sebagai dimensi terakhir yang
disinggung oleh proses sekularisasi, merupakan tujuan dari sekularisasi itu
sendiri. Maksud dari penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari
kehidupan adalah menjadikan semua karya budaya dan setiap sistem nilai,
termasuk agama dan pandangan-alam (worldview)
yang memiliki makna akhir dan tidak boleh diubah lagi, untuk menjadi bersifat
sementara dan nisbi (relative). Pada
akhirnya, seorang manusia sekular harus hidup dengan kesadaran bahwa segala
aturan dan tata laku moral yang menjadi panduan kehidupannya akan berubah
mengikuti zaman dan generasi. Dengan cara pandang seperti ini, akan membawa
manusia sekular kepada pemahaman bahwa etika dan moral itu bersifat nisbi. Ketika
etika dan moral dilihat sebagai sesuatu yang bersifat nisbi dan tak lagi ada
ikatan dengan paham agama (dalam hal ini Agama Islam) berarti tidak lagi
memegang konsep akhirat, maka membunuh seseorang yang menolak tambang pasir
atau dibangunnya apartemen mewah adalah tidak salah dan berdosa. Pertama karena
mereka tak lagi memahami konsep “dosa”, dan kedua karena dalam pemahaman mereka,
yang menolak penambangan atau pembangunan tersebut adalah orang-orang yang
tidak taat kepada peraturan perundangan sebagaimana sudah disahkan sebelumnya
(yang tentu saja dibuat demi memuaskan nafsu para pemilik modal besar, bukan
berpihak kepada rakyat kecil).
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150928_indonesia_tambang_lumajang |
*****
Jelas sudah
permasalahan-permasalahan yang timbul seputar agrarian disebabkan oleh
tergantikannya pandangan-alam Islam (Islamic
worldview) dengan pandangan-alam Barat yang jelas-jelas ‘anti-fitrah’ dan
tentu bersifat merusak. Penting dirasa untuk dilakukannya Islamisasi, yaitu
proses mengubah kembali kepada paradigma Islam yang mengarahkan dirinya menuju
keadaan yang asal, yang harmonis dengan keadaan wujud dan eksistensi, itulah
fitrah menurut Prof Al-Attas.
wallahu a'lam bishawab
Yahya Aditama
Surakarta, 10 Rajab 1437 Hijriah (17 April 2016 Masehi)