Budaya Membaca Masyarakat Indonesia Masih Lemah
Data cukup
mengejutkan dirilis oleh Perpusnas mengenai budaya baca, Masyarakat Indonesia
rata-rata membaca 0 sampai 1 buku per tahun. Jumlah tersebut lebih rendah
ketimbang negara ASEAN lainnya yang rata-rata membaca 2-3 buku pertahun. Pula
sependapat dengan paparan hasil di atas, UNESCO merilis minat baca Indonesia
yang masih lemah. Hanya 1 orang dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki
minat baca serius dengan rata-rata kurang dari satu buku yang dibaca per tahun
(UNESCO 2012).
Data
mengejutkan juga dibeberkan oleh KOMPAS, bahwa Rata-rata lama membaca buku
masyarakat Indonesia hanya 6 jam per minggu (Kompas 15/9/2015). data tersebut
lebih rendah dibanding yang diberikan oleh Kepala Pusat Pengembangan
Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional, Syarif
Bando yang dalam penelitiaannya tahun 2012-2014 menyatakan bahwa Masyarakat
Indonesia rata-rata hanya menyempatkan membaca dalam waktu 2-4 jam per hari.
Belum lagi data yang diberikan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Gerakan
Permasyarakat Minat Baca (GPMB) Bambang Supriyo Utomo, untuk DIY yang merupakan
daerah dengan minat baca tertinggi Indonesia saja indeks bacanya masih
dikisaran 0,049, jauh tertinggal dari Singapura yang 0,45.
Begitu banyak
tulisan lain yang memaparkan tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia,
dan kita juga sudah begitu sering ditakut-takuti oleh data hasil survey
mengenai minat baca Indonesia yang cukup rendah di kawasan ASEAN, tertinggal
dari Thailand. Dalam tulisan kali ini saya tidak ingin memperpanjangnya dengan
memaparkan berbagai data hasil dari penelitian mengenai minat baca masyarakat
Indonesia, saya hanya akan langsung memberikan kesimpulan bahwa memang benar
baik yang dipaparkan dalam data statistic hasil penelitian maupun yang
sehari-hari kita lihat, umumnya masyarakat Indonesia minat membacanya masih
cukup rendah.
KOMPAS Data |
Tinjauan Kajian Budaya Terhadap Lemahnya Budaya Membaca Masyarakat
Dari beberan data di atas, kemudian akan timbul
pertanyaan, mengapa masyarakat Indonesia tidak memiliki minat yang tinggi
terhadap budaya membaca ?. Saya akan mencoba memaparkan dari sudut pandang
kajian budaya (culture studies) sebagaimana
yang dipaparkan oleh Idi Subandy melalui bukunya yang berjudul Budaya Populer
Sebagai Komunikasi (2007).
Sumber: Jalasutra.com |
Masyarakat Yang Melompati Tradisi Baca
Perlu kita
ketahui bersama, bahwa masyarakat Indonesia (Nusantara) lahir dari tradisi
lisan (oral culture) yang begitu kuat
di daerah-daerah. Tradisi lisan tersebut dapat kita lihat dalam pelbagai
bentuknya melalui hiburan tradisi lokal, sebut saja salah satu contohnya
kesenian ketoprak yang mewarnai
budaya hiburan tradisional masyarakat Jawa Tengah. Kemudian ada kesenian Lenong
di Betawi, Ludruk di Jawa Timur, Randai di Minangkabau, dan masih banyak lagi.
Kemudian juga terdapat begitu banyak cerita rakyat (folklore) yang disampaikan melalui tradisi lisan ‘bercerita’ dari
satu generasi ke generasi selanjutnya.
Masyarakat
Indonesia yang berangkat dari latar belakang tradisi lisan dan masih
menggandrungi tradisi lisan sempat disuguhi oleh gencarnya usaha percetakan
pada akhir-akhir masa perjuangan yang dibuktikan oleh cukup banyaknya harian
berita yang muncul pada saat itu sebagai basis perlawanan penjajahan melalui
literasi. Namun sayang, ketika minat baca baru mulai ditumbuhkan, tiba-tiba radio
dan televisi hadir membawa, yang disebut oleh Walter Ong sebagai “tradisi lisan
kedua” (secondary orality), ke
tengah-tengah masyarakat. Jelas, bahwa media massa radio meneruskan tradisi
lisan masyarakat Indonesia. Sedikit berbeda dengan radio, televisi bisa
dibilang merupakan bentuk dari budaya visual (visual culture), namun tetap merupakan terusan dari tradisi lisan.
Goenawan Mohamad mengatakan, masyarakat Indonesia bergerak dari suatu keadaan
pra-literer ke dalam keadaan pascaliterer. Dari suatu lingkungan yang tak
pernah membaca ke dalam suatu lingkungan yang tak hendak membaca.
Masyarakat
Indonesia lebih suka mendengar dan melihat, ketimbang membaca. Kita lebih suka
ngobrol untuk membangun keakraban atau kehangatan dalam komunikasi, ketimbang
hanyut dalam membaca dikesendirian yang sunyi. Maka dari itu, jangan heran
kalau “industri gosip” menjadi marak di televisi Indonesia akhir-akhir ini.
Ternyata, menggosip tidak hanya identik dengan ibu-ibu sewaktu belanja sayur,
Bapak-bapak sewaktu di pos ronda, teman-teman mahasiswa sewaktu asik nongkrong
di kantin, ABG SMA sewaktu nongkrong di mall, mereka gemar bergosip. Karena
disadari ataupun tidak, kita lahir dari tradisi lisan.
Dalam
kondisi dimana masyarakat Indonesia tengah diserbu oleh budaya elektronik via
televisi dan internet, kemudian lahirlah yang oleh Idi Subandy disebut sebagai
Generai “V”. Generasi V adalah generasi Visual, yang sejak lahir dibesarkan dan
diasuh di antara narasi visual yang sangat berbeda dengan budaya tekstual yang
diperoleh dari budaya baca. Generasi Visual menjadikan hiburan dan tontonan
televisi sebagai panglima dan waktu luang serta waktu bermain mereka tersita
sebagian besar di hadapan “kotak ajaib” yang jauh lebih menarik ketimbang
aktivitas membaca. Bagi generasi V, berselancar di ruang maya (cyberspace) lebih nikmat dan
mengasyikkan ketimbang berpetualang dalam kisah yang disajikan dunia teks.
Generasi V tidak banyak menuntut tersedianya “ruang baca” di rumah, tetapi
mereka lebih menuntut “ruang hiburan” dari orang tua mereka.
Sumber: Google Search: Ruang Tivi |
Mitchel
Stephens dalam artikelnya, “The Death of Reading”, menjelaskan bahwa
rumah-rumah di Amerika hanya sedikit memberikan ruang untuk membaca. Ruang
membaca (seperti perpustakaan, ruang belajar, dan ruang kecil untuk membaca)
disebutnya sebagai “pulau ketenangan yang sudah tua” (old island of quiet) kini diserbu oleh layar data lengkap dengan
berbagai aksesorisnya seperti peralatan game
console dan pemutar cakram (DVD
Player). Kini, yang biasa kita sebut sebagai “ruang keluarga” akan lebih
tepat disebut sebagai “ruang televisi”. Ketika menata ruang, kita tidak terlalu
memikirkan untuk menyediakan sebuah ruang sebagai “pusat membaca”, tetapi kita
lebih fokus kepada sebuah ruang yang
oleh Stephens disebut “pusat hiburan”. Generasi kita tidak terlalu peduli
dengan keheningan dan ketenangan, tetapi hiburanlah yang menjadi pengisi waktu
luang.
Memang,
ada yang menyatan bahwa sedikit menonton televisi lebih baik ketimbang tidak
menonton sama sekali. Menonton televisi akan bermanfaat dalam kadar tertentu,
yang tentunya tidak sampai pada “kecanduan”. Untuk bahasan ini, akan saya bahas
lebih lanjut pada kesempatan selanjutnya pada tulisan lainnya.
Pengaruh Globalisasi Budaya
Dengan bangkitnya era elektronik, yang begitu memudahkan dalam penyebaran informasi, lingkungan budaya semakin dimonopoli , dihomogenkan, dan terglobalkan. Lingkungan budaya ini digerakkan secara komersial oleh beberapa gelintir tangan perusahaan raksasa media global yang menanamkan citra, tanda, dan simbol dalam setiap cerita yang mereka jual.
Kita pahami bahwa yang menguasai budaya global saat ini adalah budaya Barat. Westernisasi terjadi dimana-mana, termasuk negara-negara yang disebut sebagai Kawasan Dunia Ketiga, Indonesia berada di dalamnya. Budaya barat yang mengaggungkan materialisme, konsumerisme, hedonisme, tentu turut mempengaruhi nilai-nilai daripada apa-apa saja yang mereka produksi. Termasuk acara-acara televisi. Sehingga disadari maupun tidak, masyarakat Indonesia turut terbawa kearah materialisme, konsumerisme, hedonisme. Hedonisme dan konsumerisme Kemudian membentuk cara pandang masyarakat yang “harus” mencintai untuk menonton televisi. Dari situ, waktu luang kita mulai dijajah.
Waktu luang (leisure) yang seharusnya dapat kita digunakan untuk membaca banyak buku, harus tergantikan oleh segala aktivitas untuk bersenang-senang (pleisure) yang tentunya wajib didasari oleh perilaku konsumeristik. Televisi menawarkan update yang terus menerus secara cepat terhadap gaya hidup melalui iklan-iklan yang ditampilkannya. Jika kita hanya asik membaca, maka kita akan ketinggalan mode dalam berpakaian, misalkan. Kita dituntut untuk lebih senang nongkrong (yang cocok dengan tradisi lisan masyarakat kita) di McDonald sambil menenggak Coca-cola, ketimbang membaca dan berdiskusi di perpustakaan daerah atau sekolah. Karena berdiskusi dan membaca di perpustakaan yang tidak perlu mengeluarkan uang itu tidak keren, tidak menumbuh-suburkan perilaku konsumersitik, maka hal tersebut harus ditolak. Begitulah cara pandang yang ditanamkan melalui Globalisasi budaya Barat.
Sumber: Google Search: Coca Colonisation |
Dengan begitu, budaya baca makin tenggelam dalam arus globalisasi. Globalisasi menuntut segala sesuatunya harus cepat. Pergantian satu mode fashion ke mode lainnya, pergantian satu iklan ke iklan lainnya, pergantian satu acara televisi ke acara televisi lainnya, yang tentu saja bersifat banal atau dangkal. Karena dalam percepatan yang begitu kencang serta kebanalan, maka perilaku konsumeristik serta hedonistik tentu akan terus tumbuh subur.
Sementara budaya baca lebih cocok kepada “budaya monokronik”. Menurut Edward T.Hall, Budaya Monokronik (Monochronic culture) memiliki ciri-ciri, antara lain: (1) orang hanya melakukan satu tindakan dalam satu waktu; (2) orang sangat terikat pada komitmen waktu (seperti jadwal, deadline); (3) orang merasa tidak ingin mengganggu atau diganggu; (4) media utama mereka adalah media cetak. Yang seolah-olah terlihat lamban dan terlalu dalam, hal ini tentu harus dihindari dalam Globalisasi.
Kondisi Ekonomi, Berpengaruh ?
Beberapa tahun terakhir, bahan baku untuk percetakan semakin melonjak. Hal ini tentu saja mempengaruhi harga buku dipasaran. Harga buku terus melambung, walapun sudah disiasati dengan begitu banyak diselenggarakannya bazar buku murah. Hal ini dilakukan demi meningkatkan minat baca masyarakat. Namun ternyata, hal tersebut tidaklah berpengaruh secara signifikan. Budaya baca yang dibuktikan melalui pembelian buku dirasa masih sangat rendah. Apakah yang sebenarnya terjadi ?. apakah kondisi ekonomi yang sedang kurang baik mempengaruhi budaya baca masyarakat kita yang rendah ?.
Jika melihat pada sejarah budaya membaca bangsa ini, pada zaman penjajahan hingga era kemerdekaan masyarakat kita memang dihadapkan pada kondisi yang memprihatinkan. Sebagian besar masyarakat bertahan hidup dari hari kehari, melalui hasil bertani yang seadanya. Pada saat tersebut Buku merupakan barang mewah. Pada masa penjajahan, produksi buku dimonopoli oleh kolonial. Mereka yang dapat membaca (buku) hanyalah para penjajah serta priyayi. Walaupun budaya literasi di lingkungan pesantren-pesantren cukup kuat, namun budaya membaca belum dapat menyentuh masyarakat secara umum dikarenakan mahalnya buku-buku tersebut. Dalam masa ini, kondisi ekonomi bisa dibilang sebagai penghambat dari budaya membaca.
Namun, simaklah era 1990-an dan setelahnya, yang memunculkan kelas menengah baru (KMB) dan orang kaya baru (OKB) di Indonesia ternyata tidak serta merta meningkatkan statistik minat baca masyarakat. Kalangan KMB dan OKB ini lebih memilih konsumsi produk-produk citraan ketimbang membeli buku. Mereka tidak memiliki anggaran rutin bulanan untuk membeli buku. Mereka tidak berminat untuk memiliki ruang membaca di rumahnya, mereka lebih memilih memiliki kolam renang besar, gym dalam rumah, parkir yang besar untuk sederet mobil sport nya.
Kemudian bermunculan mal dan supermarket yang seperti jamur dimusim penghujan, itu semua demi memenuhi selera masyarakat dalam berbelanja (konsumerisme) dan bergaya (hedonisme). Ditengah hiruk-pikuk kebangkitan anak-anak KMB dan OKB yang kemudian bisa disebut sebagai “generasi mall” jelas akan semakin meminggirkan fungsi dari perpustakaan-perpustakaan di daerah. Tampaknya, sensibilitas anak-anak yang dilahirkan oleh golongan KMB atau OKB belum banyak beranjak dari budaya umum masyarakat dalam sikapnya terhadap buku dan perpustakaan. Mereka belum menjadi inti kekuatan transformative untuk mendukung budaya perbukuan di tanah air.
Dalam masyarakat yang memuja gaya hidup, kesuksesan sebuah kelas sosial memang sering diidentikan dengan kepemilikan benda-benda. Dengan jargonnya, “I consume therefore I am” Itulah simbol kesuksesan. Orang Indonesia kini yang menyembah citraan, maka kekayaan sebagai lambang prestasi dan prestasi itu harus dinyatakan, dirayakan, dan diarak di ruang publik. Untuk masyarakat Indonesia saat ini, memiliki banyak buku tidak lagi menjadi simbol kekayaan. Memiliki banyak buku hanya identic seperti penjaja buku loakan di kwitang, tidak bergengsi. Dan juga karena keluasan ilmu hasil membaca terlalu abstrak, maka ia tidak bisa diarak sebagai sesuatu prestasi di ruang publik. Kesuksesan karier seseorang diukur dan dilihat hanya dari materi semata. Masyarakat Indonesia membutuhkan sesuatu yang lebih simple untuk diarak dan dirayakan kekayaannya dalam ruang publik, seperti mobil sport atau fashion dengan harga konyol contohnya.
Dengan ini jelaslah bahwa faktor kondisi ekonomi tidak begitu mempengaruhi budaya membaca masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang memiliki finansial baik, seringkali mengutamakan membeli produk-produk citraan. Dan sayangnya, gaya hidup seperti ini diikuti oleh masyarakat menengah kebawah, ataupun kelas bawah sekalipun. Tukang ojek akan lebih bangga memiliki smartphone dengan fitur andalan pada kamera dan dapat memainkan berbagai macam game ketimbang membeli buku yang dapat meningkatkan pengetahuan keilmuan mereka untuk menuju taraf hidup lebih baik. Karena smartphone tersebut meningkatkan citra mereka dalam waktu singkat ketimbang harus membaca buku. Kita tidak pandai memanfaatkan meningkatnya kondisi finansial dalam meningkatkan budaya baca. Kita lebih pandai meningkatkan citra-citra semu dengan membeli produk-produk citraan.
***
***
“Buku, dewasa ini, adalah seperti tokek; ia termasuk makhluk yang terancam punah” pungkas Goenawan Mohammad. “Kita sedang mengembangkan sebuah generasi yang tidak tertarik dengan membaca sejauh ia ditugaskan di Sekolah” ungkap Mitchell Stphens.
Sumber: https://syelviapoe3.files.wordpress.com/2008/07/24-07-08_1136.jpg |
Dalam lingkungandi mana tradisi logika dan budaya berpikir kritis tidak berkembang, karena tidak dibiasakan tumbuh sejak di masa sekolah, bagaimana orang akan terbiasa menghargai perbedaan pendapat ? Jika diandaikan bahwa perbedaan pendapat itu jalan untuk meningkatkan kecerdasan karena pelbagai pendapat telah diuji di ruang publik, bagaimana mungkin akan terlahir pemikiran yang cerdas dan generasi yang cerdas dalam lingkungan yang tak memberi tempat bagi perbedaan pendapat ? maka, dengan sekali pukul saja bisa dikatakan bahwa masyarakat yang tidak memerlukan orang cerdas, juga tak akan merasa perlu mendidik masyarakatnya agar menjadi cerdas, toh dalam kemampuan seperti sekarang pun, kehidupan sudah bisa berjalan! Dalam kultur dan cara berfikir demikian, bagaimana budaya baca bisa tumbuh dan dunia perbukuan bisa berkembang, kalau buku dan budaya baca tak pernah dianggap sebagai hal yang penting dalam kehidupan.
Akankah sebuah bangsa yang berhenti membaca akhirnya akan berhenti berpikir ?
wallahu a'lam bishawab
Yahya Wido Aditama
Surakarta, 21 Syaban 1437 Hijriah (28 Mei 2016 Era Bersama)